LANDEP KANSELIR


PERLAWANAN TERHADAP RASA SAKIT


Ia termenung di sudut pekarangan rumah, pintu belakang, pada sebuah kursi plastik ia bersandar. Memandangi ayam-ayam. Menunggu gerimis reda bersama kepulan asap rokok. Tidak ada kopi. Hanya kenangan pahit masa lalunya yang ia habiskan perlahan. Tanpa menyisakan pengampunan. Sedikit pun, bahkan pada rasa sakit yang menyuarakan penghabisan.

Landep Kanselir memang selalu demikian, waktunya habis diantara sudut-sudut rumah. Kalau tidak di pekarangan, ya di kamar, kalau tidak ya.... pokoknya di dalam rumah. Hanya begitu. Tidak ada yang istimewa darinya. Tidak ada yang ia banggakan. Memang begitu. Serta matanya selalu kosong untuk menilai segalanya.

Pria 29 tahun itu masih bujang. Ia tinggal bersama pamannya, yang setiap hari, hampir tidak ada di rumah, mungkin bekerja, sedangkan bibinya sudah beberapa tahun pergi ke luar negeri, menjadi TKI. Karena Landep belum bekerja betulan, maka--karena ia juga nunut tinggal di rumah pamannya--ia ditugasi mengawasi ayam-ayam milik pamannya yang tidak begitu banyak. Tugasnya sederhana, hanya mengawasi dan memberi makan ayam-ayam itu. Tidak lebih. Ya kalau ayamnya tetiba loncat ke pekarangan warga, ia akan mengatakan bahwa ayam itu sudah raib dimakan garangan. 

"Aku Landep Kanselir, seorang bebas, seorang yang mampu menahan segala keburukan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan komitmenku untuk senantiasa berfilsafat" ia mengatakan itu pada ayam-ayam pamannya, yang tentu saja sibuk mengais makan.

Oalah Landep.... Landep.... Hidupnya penuh dengan basa-basi. Memakai dalil 'berfilsafat' untuk menghindari segala proses hidup yang njlimet. Maka, dengan takaran filosofis itulah ia mampu membesarkan dirinya sendiri, selalu bisa untuk terus-menerus mempersiapkan diri. Mungkin. Lagian, sebenarnya setiap dari kita mempunyai falsafah hidupnya sendiri. Meskipun ada juga yang tidak menyadarinya atau malah tidak mengakuinya.

Bayangkan saja, ketika kita sedang mengutarakan motto hidup kita, ya disitulah proses 'pencarian' yang mendalam, terstruktur, sistematis dan menyeluruh bertransformasi menjadi kata-kata yang padat serta ter-install kuat dalam diri kita masing-masing. Sudah. Kita kembali kepada Landep Kanselir.

Landep Kanselir memang sosok yang terkenal karena ketekunannya berfilsafat, ya meskipun hanya para ayam-ayam pamannyalah pendengar setia si Landep. Yang pasti, Landep Kanselir seorang bebas.

"Hei, kalian, para ayam-ayam. Ketahuilah, bahwa kita hidup di dunia ini hanya sementara. Kalian tahu jalan pulang kemari, kan? Jangan sampai kalian tersesat seperti blorok dan jengger!" Pesan yang selalu diulang-ulang oleh Landep kepada ayam-ayam itu, dan, ya, Landep menamai semua ayam-ayam pamannya.

"Ingat, kalau kalian tersesat, sudah habis dibabat  garangan nanti" imbuh Landep Kanselir. Seakan ayam-ayam itu mampu mengerti maksudnya.

"Hari ini, makan kalian sudah cukup, ya. Sekarang tinggal aku yang belum makan" kata Landep, beranjak dari pekarangan. Tentu saja menuju ruang makan, tidak mungkin tidak, dan tentu ia tidak mungkin tersesat.

Ada yang mengatakan, bahwa Landep Kanselir mengalami gangguan kejiwaan, itu kata para tetangga yang selalu 'ngerasani' Landep. Mungkin itu juga yang membuat Landep Kanselir mengurung diri, bukan karena ia 'gila', melainkan ia tidak kuasa menjadi sebab para tetangganya lebih ngawur dalam menilai seseorang.

Para tetangganya memang begitu, setiap ada apapun, pasti di-per-de-bat-kan, jangankan hal yang buruk, pada hal yang baik pun masih harus dibayar dengan perseteruan. Kemarin lusa saja, pak Gotri kepala RT setempat mengadakan galang dana untuk korban bencana non-alam, malah dikira sedang mengadakan pungutan liar dengan mengatasnamakan kemanusiaan.

"Para tetangga yang baik itu memang belum siap untuk maju, belum siap menerima kebenaran dari hidup ini" batin Landep sembari menyuapkan nasi extra garam kedalam mulutnya.

"Ternyata, ayam-ayam itu lebih bisa menerima semua kebenaran" dengan masih menelan susah payah nasi yang hanya ditaburi garam itu.

*****

"Mbak yu, itu si Landep hidupnya serba tidak jelas, ya? Betulan gila!" Kata seorang wanita paruh baya.

"Eeeee….iya mbak yu. Si Landep itu, ya, manusia yang tidak 'jangkep'. Tau ndak, kemarin saya lewat belakang rumahnya, seperti dia bicara dengan ayam-ayam. Oalah, tak kira bicara sama siapa, eh, ternyata dia ngobrol dengan ayam-ayam. Hih. Benar-benar ndak jangkep" sambut wanita yang lain lebih heboh.

Maklum, jika para tetangga itu sedang berkumpul untuk membeli sayur pada pedagang keliling, disitulah nasib Landep Kanselir seakan-akan berada pada meja peradilan. Tidak hanya itu, ternyata, si pedagang keliling memilih berhenti di depan rumah Landep, eh, rumah pamannya si Landep tidak lain hanya untuk turut serta menghakimi Landep Kanselir.

"Sungguh tidak beruntung sampeyan-sampeyan ini harus hidup selingkungan dengan Landep. Lah wong saya dari dulu 'ngetem' disini juga ndak tahu seperti apa si Landep itu, yang saya tahu hanya rumah dan pintu yang selalu tertutup rapat" tanggap si pedagang kepada langganannya itu, seperti hendak menambah daftar perkara.

"Betul mbak yu, pamannya juga begitu, selalu tidak ada di rumah. Palingan, uang kiriman dari istrinya hasil mbabu di negeri jauh dibuat yang tidak-tidak, kan pamannya itu tidak memiliki anak" 

"Mosok to mbak yu?"

"Eh iya, sampeyan ini dibilangin kok ndak percaya to. Sudah hampir sepuluh tahun bibinya Landep itu jadi TKI. Ndak pernah terlihat pulang. Wong lah jelas juga, sudah lama merantau kok ndak ada hasil, kan minimal belih tanah atau rumah itu dibuat agak mewah, seperti rumahku. Hehehe"

"Bagusan rumahku yu" sahut si pedagang keliling mentah-mentah

"Halah, iya to? Seperti apa rumah sampeyan itu? Halah-halah, di kampung ini, tidak ada rumah sebagus dan semewah punyaku. Meja makan kami saja terbuat dari marmer utuh, hmmm" 

"Ya monggo kalau tidak percaya, silahkan mbak yu datang ke rumahku"

"Yo, kapan-kapan yo. Ini jadi berapa punyaku? Sayur satu ikat, cabai seribu, tempe sama kacang panjang, eh ini, sekalian sama botok teri"

"Lima belas ribu yu" jawab si pedagang keliling

"Walah mbak yu, kok mahal banget to, aduh aku lupa ambil uang di ATM lagi, utang dulu ya. Hehehe"

"Hmmm, tadi bilang rumahnya paling mewah, tinggal bayar segitu saja masih ngutang" 

Walhasil, kegiatan jual-beli sayur-mayur menjadi ajang bagi para tetangga itu untuk semakin membuat Landep Kanselir menjadi lebih tabah.

Tentu saja, setiap pagi dan pada setiap kesempatan yang ada, para tetangga Landep itu tidak ada henti-hentinya mengedarkan rasa sakit, tidak pernah barang satu atau dua kesempatan untuk sejenak libur bergosip ria.

Meskipun sanggup mendengarnya, Landep Kanselir lebih memilih untuk selalu mendoakan tetangganya itu supaya hidup mereka lebih sejahtera. Karena bagi Landep Kanselir, tidak akan berguna kalau dia tetiba ikut campur, yang ada, dia sendiri yang akan lebih menderita. Maka, sebab itulah ia memilih menerima, dan kalaupun ada kesempatan, ayam-ayam pamannyalah yang lebih menerima keluh-kesah Landep Kanselir.

*****

Setelah selesai makan, Landep Kanselir mencoba menghibur dirinya dengan membaca beberapa buku, beranjaklah ia ke dalam kamar, memandangi rak buku ditepian, mengamati, merunut susunan buku-buku dan jatuhlah pilihan Landep pada sebuah buku karangan Mpu Hayat, Pijar-pijar Cinta. Maklum, satu-satunya buku yang belum sempat ia tamatkan ya buku tersebut.

Koleksi buku Landep Kanselir terbilang lengkap, mulai dari buku politik, sastra, budaya, almanak pergerakan dan pembangunan semuanya hampir ada serta hampir keseluruhan buku-buku itu selesai ia baca. 


[Bagian 1]

Dasar-dasar Ilmu Cinta

Cinta? Apakah itu cinta? Bukankah setiap dari kita mengetahui maksudnya? Tapi, apakah dari kita semua mampu mengerti tujuannya? Lalu, bagaimana cinta? Atau, kapankah cinta? Atau, siapakah cinta? 

…..

(Pijar-pijar Cinta halaman 5)


Bukannya terhibur, Landep Kanselir malah menjadi kebingungan dengan apa yang tengah ia baca. Pada akhirnya, karena bingung, ia menjadi sangat lapar. Nah, inilah keunikannya, ketika Landep Kanselir mengalami kebingungan terhadap sesuatu hal, maka reaksi tubuh Landep memberikan stimulan kepada otak untuk memerintah perutnya agar menjadi kosong. Sehingga perutnya terasa perih, meminta untuk segera terisi.

Buku ia tutup dan Landep Kanselir menuju halaman belakang.

"Karena aku sedang baik pada kalian, beserta rasa cintaku….dan inilah, makan kalian aku tambahi. Ker...ker.. keeerr… kemarilah ini untuk kalian" 

"Bagus, makanlah yang banyak"

Dengan sigap, ditangkapnyalah satu ayam babonan!

"Hei hei, tenanglah Klawu, tidak apa, tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Anak-anakmu sudah besar, Meraka tidak perlu kau pandu lagi untuk mengais makan. Sekarang waktunya kau membuktikan rasa cintamu padaku. Kau harus berkorban" kata Landep dengan sangat bijaksana kepada ayam itu.

Dibawalah ayam itu, lalu ia letakkan ditanah, dengan kaki kirinya menginjak badan klawu tangan kirinya memegangi kepalanya serta tangan kanannya sudah siap dengan sebilah pisau….

"Aku tahu, setelah ini, hilanglah semua penderitaanmu. Kau benar-benar mencintaiku, kan?"

Tanpa bisa menjawab, pisau itu sudah selesai memutuskan urat leher klawu. 

Jadilah kali ini Landep Kanselir menikmati olahan ayam, yang jauh sekali berbeda dengan makanannya sehari-hari. Setelah selesai makan, Landep Kanselir menghampiri ayam-ayam pamannya yang lain, lagi.

"Ada kabar untuk kalian, klawu sudah tersesat, ia kabur ketika aku sedang mengobatinya. Ia kabur ke pekarangan warga. Nahas, klawu menjadi santapan garangan" kata Landep sambil menangis

"Ketahuilah, kita hidup di dunia ini hanya sementara, jangan sampai kalian tersesat seperti blorok, jengger dan klawu!"


//Cerpen/Banyuwangi/28/01/2021//

Eko Wahyu Pratama

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkara Ilmiah

Subjek dan Tragedi

Kadir Jaelawi