BERSEKOLAH
MASA LALU
Pagi hari ini terasa lebih dingin dari biasanya, lebih dingin dari kemarin dan hari-hari sebelumnya. Alhasil saya harus mengenakan jaket tebal dan tubuh saya masih harus saya bungkus menggunakan sarung—meskipun hanya duduk diruang tamu, tapi hari ini benar-benar dingin.
Mengingat daerah kami bukan berada di lereng gunung ataupun dataran tinggi, dekat dengan pantai malahan, cuaca semacam ini menjadi perbincangan sendiri bagi warga kampung. Saya memang bukan seorang ahli cuaca atau sejenisnya, tapi melihat mendung yang berarak seakan menghampiri, saya kira akan turun hujan. Itu juga saya rasa dari keadaaan yang mulai lembab, siut angin, keadaan yang redup dan hujan pun turun.
Hari ini saya tidak berangkat bekerja, kata dokter pribadi saya—istri saya maksudnya—saya harus istirahat dulu. “Jangan mengajar dulu, kamu sakit, kasihan murid-muridmu nanti” katanya. Sudah dua hari saya tidak berangkat ke sekolah, karena terserang flu, dan hidung saya meler karenanya.
Perlu diketahui, saya adalah seorang guru disalah satu sekolah dasar swasta.
“Sebagai gantinya, hubungi teman-teman sejawatmu, mintalah tolong untuk menggantikanmu sampai kamu mendingan” tambah istriku sembari khidmat memasak, jelas, untuk melayani pasien kesayangannya.
Dibalik jendela ruang tamu, hujan turun begitu deras, sehingga membuat beberapa orang berteduh dipinggir-pinggir jalan, sembari mencari naungan atau berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan. Tidak terkecuali ada yang kebetulan berteduh di emperan rumah kami.
Rumah kami berada dipinggir jalan raya serta memiliki emperan yang lumayan luas untuk digunakan sebagai tempat berteduh, itu juga berkat atap dari esbes sebagai pelengkapnya. Dulu, emperan itu adalah tempat bagi kami untuk memakirkan mobil, namun semenjak kami mengalami kecelakaan dengan mobil kami, kami memutuskan untuk menjualnya. Syukurlah kalau emperan rumah kami masih bermanfaat.
Sepertinya hujan turun lebih deras.
Semakin deras hujan turun semakin banyak orang yang berteduh. Pedagang, rentenir, dan diantaranya ada murid-murid sekolahan. Saya tidak begitu heran, karena pemandangan ini memang menjadi kewajaran jika turun hujan. Saya pun akan demikian jika turun hujan: sejenak berhenti dan mengenakan jas hujan jika kebetulan jas tersebut tidak lupa saya persiapkan dijok motor. Namun jika saya berpergian dan lupa membawanya, saya akan mempertimbangankan, memilih basah atau ikut berteduh seperti kebanyakan.
Sebagian murid-murid yang berteduh di emperan rumah adalah murid-murid saya sendiri, termasuk Jumali. Ketika melihat Jumali, saya seperti melihat diri saya sendiri sewaktu masih sekolah dulu. Dengan tubuh yang kecil, kepala plontos dan wajah yang terlihat jelas sedang gelisah. Mungkin memang benar, kami—saya dan Jumali—sedang menggelisahkan hal yang sama waktu itu: takut terlambat masuk kelas.
Dulu saya paling tidak bisa jika harus membolos, jangankan begitu, jika saya telat meskipun karena cuaca kurang mendukung, saya takut bukan main. Pernah dulu, sewaktu sekolah ketika berteduh, karena hujan tidak kunjung reda, saya berinisiatif melepas baju, sepatu dan bersama tas, saya masukan kedalam kresek hitam besar. Lalu dengan perasaan khawatir datang terlambat, saya berlari sebisa saya. Dengan bertelanjang dada dan kaki telanjang, saya bayangkan saya segera sampai sekolah.
Sesampainya di sekolah, celana saya basah sama sekali, dan itu membuat saya risih. Tapi, tidak apalah, asal baju dan buku-buku saya tidak ikut basah. Saya tidak perlu khawatir jika saya harus diledek atau dijadikan bahan guyonan jika terlihat seperti orang kepayahan. Bagi saya itu tidak masalah, karena memang tidak perlu saya khawatirkan.
Saya masih melihat keluar jendela. Bersama hujan, Jumali masih terlihat gelisah. Saya juga ikut merasakan kegelisahan yang dulu pernah saya miliki: karena mengingat masa-masa saya sekolah dulu. Sebuah kegelisahan yang akut. Kegelisahan yang hanya kami miliki—gelisah jika kami harus datang terlambat. Jumali sangat terlihat gelisah karena hal itu. Saya tahu betul.
Kemarin-kemarin, saya sudah berpesan kepada Jumali. Di dalam kelas, ataupun di dalam setiap kesempatan. “Jika hujan turun, nak, berangkatlah bersama bapak, biar bapak antarkan kamu”. Tetapi Jumali bersikukuh, bahwa dia lebih bisa untuk berangkat sekolah sendiri. Berjalan kaki.
“Tidak usah pak, biar saya berangkat sendiri”
“Kalau hujan nanti kamu kebasahan, atau kamu bisa jadi terlambat karenannya” wajahnya, ketika itu berubah, seperti berpikir keras. Sebab saya mengatakan dia akan terlambat nantinya. Barangkali disaat itulah ia hampir menerima tawaran saya. Namun.
“Tidak apa-apa pak Jamal, saya bisa berangkat sendiri”
“Baiklah nak, jika itu maumu”
“Tentu, Pak!”
Melihat Jumali, saya benar-benar teringat diri sendiri. Saya dulu juga begitu, menolak setiap tawaran yang ayah saya berikan. Dulu, almarhum ayah saya seorang pedangan gerabah keliling. Ayah saya berkeliling untuk menawarkan hasil kerajinan yang ia buat. Dari rumah ke rumah, dan sesekali berhenti dibeberapa tempat yang sudah menjadi akrab dengan kami, seperti alun-alun kota. Misal.
Ayah saya berkeliling menggunakan sepeda kayuh, dengan satu kotak besek anyaman bambu disetiap sisinya, kami menyebut kotak besek itu dengan istilah 'tobos'. Masing-masing besek tidak selalu terisi penuh dengan barang dagangan. Dengan meilihat kondisi seperti itu, saya tentu saja menolak tawaran ayah saya untuk mengantarkan saya berangkat sekolah. Bukan karena malu, tapi saya tidak bisa menambah beban ayah saya. Belum lagi, jika kami kedapatan kehujanan bersama, saya tidak kuasa melihat ayah saya kebasahan. Namun saya lebih senang jika ketika libur diajaknya berkeliling untuk berdagang.
Mungkin ayah saya sudah memaklumi keinginan saya waktu itu, sebab begitulah seharusnya seorang ayah. Bagi kami, para ayah, wajib mendukung secara penuh apa yang anak kami kerjakan. Menasehati. Atau melarang jika diperlukan.
Tiba-tiba istri saya menghampiri Jumali. Dengan menggukan alat bantu jalannya, istri saya menemui Jumali.
"Nak, tidak perlu dipaksakan, hujan hari ini sangat lebat. Ayahmu juga belum bisa mengantarmu, ayah sedang flu. Kamu tahu sendiri, kan? Kalau kamu memaksa, tidak masalah, tapi kamu nanti jadi sakit” Istri saya membujuk Jumali dengan tatapan teduhnya. Khas seorang ibu.
“Tidak apa-apa nak, tidak perlu dipaksa”
“Tapi Bu, saya tidak ingin terlambat, saya tidak ingin membolos”
“Tidak apa-apa, lagi pula ibu sudah memasak tumis kesukaanmu” istri saya membujuk.
Akhirnya, mungkin karena ingin menghormati ibunya, Jumali tidak jadi berangkat sekolah. Dan pagi ini, kami bisa bersama-sama menunggu hujan reda. Selain itu, dimeja makan, Jumali masih terlihat gelisah. Hal itu mengisyaratkan saya untuk bisa menghiburnya. Dimulai dengan bercerita, misal cerita saya sendiri. Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar....
//Cerpen/Banyuwangi/02/01/21//
mantab suhu
BalasHapus