Empu hayat dan Tekpo Remi Dominoeus



Asap perdupaan itu membumbung tinggi. Mantra-mantra. Bebungaan itu sekalipun tidak lupa. Semua orang hari itu sedang sibuk. Hal besar akan terjadi: sebuah terobosan dalam dunia manusia kala itu. Desa sedang mempersiapkan kemajuan. Wanahayu sedang punya hajat!


Kemajuan wanahayu ditakar dengan masihnya masyarakat setempat menghargai tradisi luhur, berkirim doa-doa sebagai madah syukur suka-cita atas pemberian alam yang melimpah ruah. Bukan melulu hal klenik yang mereka lakoni, namun, konsep penghargaan kepada alam-lah yang tengah mereka khotbahkan.


Pada sebuah balai besar, terlihat banyak sekali sesajen, buah buahan, orang-orang khusyuk, anak-anak serta segelintir remaja tanggung. Diantaranya terlihat Tekpo Remi Dominoeus, seorang remaja yang serba melankolis hidupnya. Kata orang pintar, Tekpo sedang mendalami laku hidup 'judi-isme' , entah makanan apa itu, yang jelas hidupnya serba mendayu-dayu.


"Ayo tebak, orang-orang itu sedang apa?" Tanya seorang anak pada rekan mainnya, sambil menghisap kembali ingusnya.

"Wah, apa ya, lagi kawinan mungkin?"

"Hus, apa kamu tahu, kawin itu bagaimana?"

"Asal ramai-ramai, banyak orang, pasti itu kawinan, kan? Ya, to?" Jawab anak yang paling bongsor diantara mereka.

Serentak mereka terbahak-bahak

"Hahaha, ngawur, siapa tahu itu sunatan"

Tukas anak yang lain.

"Memang kamu sudah sunat?"

Tanya anak yang pertama kali memancing obrolan.

"Aku? Ya jelas sudah, to. Rasanya seperti digigit semut!"

Terjadilah keributan diantara mereka, sehingga membuat pusat perhatian teralihkan kepada segerombolan mereka.


"Hei! Hus...! Jangan berbuat gaduh! Pergi sana bermain, kalian ini, selalu bikin ulah. Anak kecil tidak boleh bermain disini!" Bentak wanita paruh baya kepeda mereka, yang sedari tadi selalu merapikan kembennya.

"Ini acara keramat, acara besar! Tahu kalian?" Lanjutnya.

"Hahahaha, yang besar itu bukde!"

Sambil mengejek si wanita itu, yang kebetulan juga besar badanya, alias gendut, anak-anak itu pergi. Melarikan diri.


Hari itu, memang banyak sekali yang berkumpul. Untuk seukuran desa, kegiatan tersebut memang terkesan besar, maka tidak mengherankan jika banyak warga desa lain berduyun-duyun turut serta. Mengingat, kegiatan besar tersebut atas prakarsa seorang tua, yang bagi masyarakat desa, ia dianggap memiliki kelebihan, misal harta, kepandaian hingga umurnya juga memang lebih daripada yang lain. Mpu hayat, orang-orang menjulukinya begitu, meskipun, tidak ada yang tahu dengan pasti siapa nama asli dan asal-usul mpu hayat.


"Baiklah saudara-saudara sekalian, para hadirin yang terhormat. Hari ini, kita akan memulai upacara besar kita. Yang dengan ini, semoga wanahayu, desa kita yang kinasih, tetap anteng-manteng, sugeng jeneng. Tetap gemah ripah luh jinawi. Diharapkan juga nantinya tidak ada yang berbuat gaduh" teriak lantang ketua 'panitia', sembari menjaga matanya tetap melotot, supaya terkesan sangar.


Empu Hayat sendiri yang memimpin kegiatan besar semacam itu. Pakaianya pun terlihat jauh dari semestinya—daripada zamannya. Jika semua orang yang mengelilinginya memakai kemben dan sampur, Empu Hayat menggunakan setelan pakaian yang tidak pernah sekalipun orang-orang jumpai. Bahasa kita menyebutnya “kekinian” dan entah, darimana ia mendapatkan mode pakaian semacam itu. 


"Hei, tahu tidak, pakaian yang dipakai empu hayat itu saru!" Kata seorang mangku desa pada orang disampingnya

"Lihatlah, bukan begitu seharusnya dukun berpenampilan. Lihatlah setelan pakaiannya. Aku pernah dengar, bahwa yang ia kenakan adalah celana, baju berkerah dan jas! Menurut apa yang sudah aku pelajari, model pakaian itu berasal dari negeri yang sudah tidak taat pada alam!" Imbuhnya sembari menyulut sebatang rokok klobot.

Orang yang disampingnya tidak melulu menggubris omangan si mangku desa, malahan, terlihat sangat bingung.

"Aku jadi khawatir, semua orang akan berpenampilan seperti mpu hayat, bisa-bisa, pengerajin kain di desa bisa gulung tikar, tidak ada yang mau jualan 'sewek' lagi. Hmmm" sembari ia menghembuskan asap rokok yang lumayan tebal, seakan juga dari gelagatnya, desa sedang bergantung dari opininya.

"Dasar dukun gila!" Lanjutnya

Lantas orang disebelahnya menatap tajam si mangku, sembari berkata dalam hati "lah wong sudah tahu edan, kok diikuti".


Ini tidaklah mengherankan, mpu hayat sering disebut sebagai dukun gila, sosok yang kadangkala jauh dari nilai-nilai perdukunan. Upacara yang ia buat selalu 'nyleneh', sangat tidak masuk di akal. Ya, meskipun, akal tidak sepenuhnya berfungsi. Meskipun begitu, banyak yang percaya bahwa dibalik ke-gila-annya, si mpu memiliki banyak sekali kelebihan. Walhasil, percaya tidak percaya, orang-orang memilih percaya saja. Malas berpikir, mungkin.


Bagaimana tidak, mpu hayat memegang sebuah benda kecil yang sedari awal ia mainkan dengan dua jempol tangannya itu. Membuat semua orang terheran-heran, meyangka bahwa benda tersebut buah meditasi mpu hayat berbulan-bulan di puncak gunung sembulungan. 


***

"Wahai anak muda" kata mpu hayat sambil menunjuk Tekpo

"Kulo?" Jawab Tekpo sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Ya, betul, kamu. Kemarilah. Mendekat"

"Nggeh mpu, sendiko dawuh" jawab Tekpo sembari kebingungan. Perlahan ia melangkah.

"Iya mpu, ada apa?" 

"Sudah tahu, kan, apa tugasmu?"

Belum sempat tekpo menjawab

"Itu, tolong ambilkan saya satu kelapa muda, yang 'kemlamut' ya"

"Eeee... I iya mpu" Tekpo pun bergegas memenuhi isyarat si mpu. Tanpa bisa menolak, sebab ia belum mempersiapkan alasan sama sekali.


Walhasil, dengan kesusahan, Tekpo berhasil membawakan pesanan si mpu.


"Ini kelapa kemlamutnya mpu"

"Wah, iya, betul, anak pintar"

Dengan memberanikan diri, Tekpo akhirnya bertanya apa maksud dari si mpu.

"Kalau saya boleh tahu, kelapa itu buat apa ya, mpu?"

Sembari mengusap-usap kelapa, si mpu menjawab.

"Hidup kita ini, lebih banyak berisi dengan hal-hal yang tidak terduga. Maka, kita diharuskan untuk senantiasa waspada dan terus-menerus belajar"

Tekpo sekarang yang malah mengusap-usap kepalanya sendiri, takut tiba-tiba 'umub' karena omongan si mpu.

"Zaman itu sejatinya ya begitu-begitu saja, yang terus-menerus bergerak dan berputar-putar hanya manusianya saja"

"Maksudnya, mpu?"

"Kita itu dilahirkan di dunia, ujuk-ujuk disuruh merawatnya. Padahal kita lahir di dunia tidak mengetahui mau kita apakan dunia ini. Maka, kebanyakan dari kita hanya bisa menangis ketika baru 'keluar' ke dunia ini"

"Saya kurang paham apa yang mpu katakan"

Tekpo semakin 'mumet' jadinya.

"Begini, ngger, kamu percaya kan, bahwa hidup ini seperti perjudian?"

"Iya mpu, saya percaya begitu"

"Yang fana adalah waktu, judi abadi" tambah si Tekpo.

"Hahahaha. Ya ya ya" tanggap si mpu terpingkal-pingkal.

"Coba, jelaskan padaku, kenapa kamu yakin seperti itu"


Upacara pun tetap berlanjut dengan tertib, kegiatan tidak boleh mandek, apapun yang terjadi. Meskipun, hujan tetiba turun amat deras. Kegiatan besar harus tetap berjalan.

Terlihat, sekarang semua orang masih khyusuk berdoa. Sedangkan Tekpo dan mpu hayat masih asyik mengobrol.


"Sebelum kamu menjelaskan, ayo ikut aku, sepertinya disini bukan tempat yang pas buat kita" kata si mpu, dengan masih mengotak-atik alat kecilnya.

"Tapi kemana mpu?"

"Disana, dipuncak gunung sembulungan" jawab si mpu.

"Tapi masih hujan"

"Habis ini juga terang" jawab si mpu dengan masih terpaku pada alat kecilnya yang memancarkan cahaya itu.


Lantas mpu hayat menghampiri si mangku desa, berpesan agar acara tersebut tetap berjalan. Cukup lama mpu hayat berbicara dengan si mangku desa, sedangkan dari kejauhan, Tekpo hanya sanggup menunggu.


"Ya, bagitu ya, aku tinggal dulu, nanti kalau orang-orang sudah selesai berdoa, lanjut hiburan rakyat" kata mpu hayat kepada si mangku sembari melangkah pergi.


"Sepertinya hujan sudah reda, ayo, ngger"


****


"Apakah masih jauh tempatnya? Saya rasa, kaki ini sudah tidak sanggup lagi, mpu" ujar Tekpo agak keras kepada mpu hayat yang sudah jauh di atasnya dengan suara yang tersengal-sengal.

"Ayolah anak muda, kamu harus kuat, toh, lagian ini juga bagian dari perjudianmu" tukas si mpu, sambil terus mendaki, tanpa sedikitpun melihat ke bawah, seperti ia yakin, bahwa Tekpo akan bisa menyusulnya.

"Apakah kelapanya masih kamu bawa? Kalau masih, kupaslah, lantas minumlah, ini, ada parang untuk mengupasnya, gunakanlah ini" kata si mpu melanjutkan. Sembari mengambil sebuah parang dari balik jasnya itu. Menaruhnya pada sebongkah batu, dan ia tetap melangkah.


Tekpo pun keheranan, sejak kapan si mpu itu menaruh sebuah parang di balik pakaiannya itu. Tapi tidak apalah, untung juga kelapa kemlamut yang Tekpo cari susah-susah tadi masih kuat ia pertahankan untuk ia bawa. Bergegaslah ia ke atas, mengambil parang, serta, tanpa pikir panjang, ia mengupas kelapa itu.


"Ah! Segar. Segar sekali ini. Mantab jiwa. Seperti seluruh rasa lelahku hilang" ceracau Tekpo

"Mpu, mpu hayat.. ini kelapanya, apa kau tidak mau?!" Teriak Tekpo lantang. Namun tidak ada jawaban di atas.

"Maaf mpu, kelapa ini untukku semua, aku lelah, untuk orang sepertimu, aku rasa sudah tidak butuh hal-hal semacam ini" imbuhnya dalam hati


Setelah selesai meminum air kelapa itu, Tekpo bergegas menuju puncak gunung sembulungan.

Betapa terkejutnya ia, ketika ia sampai di atas. Tekpo begitu terperangah, ia hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kelapanya sendiri, eh, mata kepalanya sendiri. Ding.


"Wahai anak muda, duduklah disini, mendekatlah"  kata si mpu yang tidak jauh berada di sampingnya.

Terlihat si mpu sedang selonjoran pada sebuah lincak jati, sambil mengenakan kacamata hitam, sembil merokok.

"Inilah kemajuan itu, orang-orang desa tidak akan menerima ini semua, itu, sebuah gedung dengan kaca-kaca besar, itu disebut vila" ia menunjuk sebuah gedung yang serba putih, nampak juga sebuah kolam renang. Serta Tekpo sekarang hanya plonga-plongo. Masih menakar, apa arti semua ini.


"Cobalah bersantai, sambil kita lanjutkan pembicaraan kita di balai tadi"

"I...i..i.iya, mpu" akhirnya Tekpo berusaha mengakrabkan diri dengan hal-hal yang ia baru temukan. Di puncak gunung sembulungan lagi! Meskipun, ia masih celingukan, dan bertanya-tanya, apakah ini semua buatan jin? Apakah ini semua hasil kerja para siluman? Semuanya serba putih, bangunan disini sangat berbeda dengan bangunan yang ada di desa. Tempat macam apa ini? Jangan-jangan…. Mpu hayat adalah sesosok….


"Bukan" mpu hayat menyrobot pikiran Tekpo, lantas membuat Tekpo memperhatikan si mpu.

"ini semua bukan hasil kerja para siluman, tidak ada yang namanya siluman hari ini, ya kalaupun ada, ya kita itu silumannya" sambung si mpu seakan tahu maksud dari gelagat Tekpo.

"Jadi, bagaimana kamu mengira bahwa hidup ini hanya perjudian?" Tanggap si mpu.

"Begini mpu.." sambil menghirup udara banyak-banyak.

"Meskipun kita sudah hafal akan seperti apa watak dunia ini, bagi saya, masih ada faktor keberuntungan"

"Semisal, kita sudah mempersiapkan segalanya, masih ada hal-hal yang tidak terduga dan tidak terelakkan. Ya seperti apa yang saya temukan hari ini" sembari Tekpo mengingat dalam-dalam apa yang sudah ia pendam.

"Jadi..." Tekpo tetiba berhenti.

"Jadi apa anak muda?" Sambut si mpu, seakan ia semakin penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Tekpo.

"Jadi, semua ini hanya kemungkinan, ya, kemungkinan. Kemungkinan bisa iya, kemungkinan bisa tidak. Sebab, mpu, menurut saya, satu-satunya kepastian itu ya kemungkinan"  jawab Tekpo mantab.

"Maka, dari hal demikian, kita tidak boleh sembrono menilai, kita tidak boleh serta-merta menghakimi orang, karena itu semua masih kemungkinan" lanjutnya.


Sebelum Tekpo selesai mengungkapkan semuanya, tiba-tiba angin besar muncul, disusul dengan suara yang sangat bising....

Lantas dari atas, muncul benda besar seperti capung.

"Tenang anak muda, ayo bergegas, ikut tidak kamu?"

Kata si mpu sembari menunduk, dan beranjak menuju benda besar itu.

"Kemana mpu?" Tanya si Tekpo, dengan sedikit ketakutan karena ia baru melihat benda besar tersebut, yang mampu membuat angin besar dan bersuara bising.

"Ini namanya Helikopter. Dan kita akan menuju sebuah pertemuan besar, di Amerika. Ayo, kita naik ini dulu, nanti kita bakal naik 'jet' pribadi" 

"Helikopter?!" 

"Ya, benar. Sudah, banyak waktu diperjalanan nanti, ayo cepat naik"


****


Berhari-hari kemudian, berita menghilangnya Tekpo bersama mpu hayat makin santer dibicarakan, orang-orang setempat tidak berani mencari keberadaan mereka di sembulungan, untuk sekadar memastikan, sebab, kata orang pintar, sembulungan banyak penunggunya.


Setelah tiga bulan setengah hari menghilang--yang dikira oleh orang-orang sebab bermeditasi, Tekpo muncul kembali di desa wanahayu dengan setelan pakaian mirip mpu hayat. Dengan begitu, sah-lah si Tekpo menjadi dukun baru bagi masyarakat setempat.



"Oke, everybody, segera persiapkan semuanya, bulan besok kita adakan upacara besar!"



Wah!




//Cerpen/Banyuwangi/04/01/21//

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkara Ilmiah

Kadir Jaelawi

Subjek dan Tragedi