Kadir Jaelawi
Riwayat Kadir Jaelawi Si Penyuka Bahasa Indah
Orang-orang terlanjur menganggapnya sinting, urakan dan jarang sekali memepertimbangkan apa-apa. "Setiap keadaan dan benda-benda pastilah menimbulkan bunyi, dan tentu bunyi adalah bahasa" itulah pernyataan yang mula-mula menjadikan Kadir Jaelawi dijuluki sebagai keberadaan yang kemaruk. Pernyataannya tentu tidak akan menimbulkan salah anggapan atau lekas menjadi biang keributan jika ia tidak memaksakannya pada orang lain. Tapi si penyuka bahasa indah itu menginginkan orang harus patuh pada pemahamannya. Itulah keributan, jika apa-apa harus dipaksakan.
Begitulah Kadir Jaelawi yang memiliki keyakinan bahwa apa-apa pastilah memiliki bebunyian dan dari sanalah bahasa mampu diperdengarkan dan dipergunakan. Dari situ jugalah, Kadir Jaelawi giat mensosialisasikan penemuannya itu. Ia beranggapan, orang-orang hanya akan dapat selamat dari zaman yang semakin brutal ini ketika menyadari bahwa semuanya memiliki bebunyian. Dan tugas kitalah yang mengindahkan bebunyian itu dengan pengalaman dan pengetahuan kita.
Daripada semua hal itu, ada hal lain yang tidak bisa dibiarkan oleh orang-orang, ialah bahwa Kadir Jaelawi merupakan seorang pejabat pemerintahan. Memang tidak ada yang salah dari pejabat semacam ini. Tapi kehadirannya adalah etalase kecurigaan dan dari sanalah tumbuh kecanggungan dan sumber olok-olokan. Ini yang jarang ada dalam banyak pemberitaan. Tidak disebut dan terlanjur tidak penting lagi dibicarakan. Setelah ia dapat menduduki kursi pemerintahan, latar belakang sudah tidak dapat kita tengok kembali. Kalaupun ada kita lihat kembali, niscaya itu hanya keberanjakan kelain tempat dan posisi. Kadir Jaelawi terlanjur pasrah dengan anggapan orang-orang. Entah itu masyarakat umum ataupun pejabat pemerintahan, ia tetap lestari dengan ajaran bebunyiannya.
Tapi sekali lagi Kadir Jaelawi adalah memang seorang pejabat yang berbeda, tidak seperti kebanyakan, tidak umum dan selalu estetik. Segar dan tidak ada yang bisa memadamkan semangatnya. Ia adalah seorang pejabat yang kemana-mana selalu menafsirkan bebunyian. Misalkan, kalau kentut itu berbunyi, maka ia juga harus ditafsiri; habis makan apa, makananya hasil korupsi atau tidak dan seterusnya. Tidak ada satupun hal di dunia ini yang luput dari penafsiran Kadir Jaelawi. Tafsirnya bernas dan menjangkau yang inti.
Ada juga bunyi-bunyian muncul sebagai teror, maka berhati-hatilah akan hal itu, tapi lantas juga jangan ditiadakan. Kita harus curiga terhadap bunyi yang semacam itu, tapi satu-satunya hal yang dapat kita curigai adalah pengetahuan kita. Karena ketidaktahuan adalah bunyi yang paling menyengsarakan daripada seluruh bebunyian yang ada.
Menurut si penyuka bahasa yang indah itu, peraturan-peraturan pemerintah juga demikian. Peraturan itu harus dapat membahasakan dirinya dengan indah. Akan jadi apa jika hidup ini tidak kita tafsirkan? Apalah arti hidup jika tidak dapat menjadi bahasa yang indah? Akan jadi apa hidup yang tidak bisa berkata-kata? Kebijakan adalah bunyi. Perintah adalah bunyi. Saran adalah bunyi yang lain. Semuanya adalah bunyi. Begitulah anggapan Kadir Jaelawi si penyuka bahasa indah. Sebagai pejabat pemerintahan, kepekaan terhadap bebunyian menjadi sangat penting. Kalau saja ada pejabat yang tidak peka terhadap bebunyian itu atau memilih menutup telinganya niscaya kemalangan akan selalu menyertai harapan-harapan pembangunan.
Dan tidak banyak orang seperti Kadir Jaelawi yang mendaulat dirinya sebagai budayawan masuk ke dalam jajaran legislatif pemerintahan. Orang banyak menyebutkan bahwa ketika budayawan atau seniman masuk ke pemerintahan berarti ia telah menggadaikan kebebasannya. Namun, Kadir Jaelawi tentu punya pertimbangan lain. Sebab, menurut si penyuka bahasa yang indah itu, pemerintahan adalah kebebasan juga. Maksudnya, itu juga merupakan pilihan yang bijak bestari. Dan lagi pula siapa yang menjulukinya budayawan?
Lantas, pada sebuah sidang pengambilan keputusan tentang nasib penambangan ilegal di suatu daerah, ia mengatakan, "Inilah mengapa menjadi sangat penting saya berada disini. Akan saya jelaskan, jadi, kepada ketua sidang dan segenap hadirin yang ada, perkenankan saya menjelaskan panjang lebar".
Ketua sidang yang tahu bahwa Kadir Jaelawi adalah anggota legislatif yang diusung partai penguasa wilayah itu secara sadar mempersilahkannya menerangkan apa-apa. Tidak ada yang bisa menentang keputusan itu dan, "Terimakasih yang mulia" sambung Kadir setelah dipersilahkan, ia melanjutkan, "Apakah saudara-saudara tidak mendengarkan bunyi-bunyian itu?" Kadir Jaelawi mulai menjadikan matanya seperti sorot mercusuar yang menangkap geliat pada setiap peserta sidang. Satu ruangan itu tidak ada yang terlepas dari sorot matanya.
Seperti perahu-perahu di lautan yang berjibaku dengan kegelapan malam, dari sebagianya merasa tertolong dengan adanya sorot mercusuar yang lain adalah perompak yang telah sengaja menghindarkan diri dari keselamatan. Kadir Jaelawi melanjutkan, "Tambang yang semula bukan tambang itu telah berbicara kepada saya, gundukan-gundukan itu membahasakan dirinya kepada saya. Jalan, pohon-pohon dan kerikil sebesar kacang polong itu juga telah mengatakan kepada saya, bahwa menjadi tidak apa-apa ketika perut mereka harus didulang demi kesejahteraan bersama" sejenak meneguk segelas air. Lalu ia berdiri sambil melanjutkan.
"Mereka juga mengatakan kepada saya, bahwa itu harus menjadi legal, semua harus diawasi, harus terdata, dapat dikontrol dan tidak ada yang dirugikan" lalu si penyuka bahasa indah ini mulai menunjukan data-data yang diperolehnya tentu dari para ajudan lapangan.
"Dari seribu dua ratus tujuh puluh dua warga setempat, hanya seperdelapannya saja yang setuju penambangan ilegal itu ditertibkan dan dibuat legal dalam pengawasan dan pengelolaan pemerintah, yang lain memilih tidak menjawab dan sebagiannya menolak" ia kembali duduk. Tapi tetap melanjutkan pemaparannya.
"Kalau benar kita mendatangkan para ahli pertambangan kesana beserta alat-alat tambang sewaan, kita juga harus memikirkan nasib para warganya. Seperti layaknya benda berharga, emas misalnya, mereka harus juga disepuh hatinya. Kita datang tidak boleh ujug-ujug meminta tanah bermukim mereka untuk juga menanggung beban negara"
Kadir Jaelawi masih melanjutkan, "kita datang kesana haruslah sebagai keluarga, bukan orang lain yang secara sembrono mau menginvasi. Maka saya menawarkan, pertambangan itu tetap kita usahakan dengan sepenuh pertimbangan. Kalau ada warga yang masih mengeluhkan kerugian, kita ajak mereka berpikir jauh. Kalau masih ada yang tidak setuju, kita gunakan cara yang tertib dan paling aman".
Tidak cukup disitu, si penyuka bahasa indah itu kembali berdiri, "jati diri tetap harus kita tanamkan, kita ajak mereka turut andil dalam kesenian-kesenian daerah, hasil-hasil tambang itu juga harus digunakan untuk keperluan martabat warga daerah".
Begitulah Kadir Jaelawi berpendapat, bagaimanapun pembangunan tidak boleh miskin arah. Kalau kita mengusahakan bisa makan dan kenyang, itu haruslah dilakukan bersama-sama. Dan Kadir Jaelawi tentu tidak akan merasa kelelahan akan hal ini. Baginya, mendermakan pengetahuan dan posisinya untuk orang lain adalah hal yang mulia. Sebagai pejabat pemerintahan ia tidak boleh leha-leha dan hanya duduk siap grak ditempat.
Sebagai penutup keberadaan suaranya dalam sidang itu—sebagaimana juga telah menjadi atribut kediriannya—Kadir Jaelawi membacakan sebuah puisi. Alangkah ini sesuatu yang hanya dapat dicapai oleh si penyuka bahasa indah. Dan puisi Kadir Jaelawi itu telah hadir dan bercampur dengan aroma parfum-parfum italia.
****
Pada suatu siang yang tidak begitu panas, terlihat mendung malahan, terlihat seorang tua sibuk mengamati dedaunan yang berjatuhan tertiup oleh angin pada tepian sungai. Dengan mata yang berkaca-kaca, lalu ia punguti beberapa lembaran daun jatuh itu yang kebanyakan berwarna coklat tua. Ia amati satu persatu dedaunan itu, membolak-balikannya, mendekatkan pada telinga dan mencatat sesuatu hal lain pada sebuah buku tebal.
Ia lakukan itu dengan sangat hati-hati penuh ketelitian. Selepas ia selesai dengan dedaunan itu, ia mulai mengamati rerumputan dan lumut-lumut di bantaran sungai. Ia mengendus baunya, mendekatkan telinganya dan sama seperti dedaunan coklat tua, ia juga menuliskan sesuatu hal pada buku tebal yang terlihat masih baru itu.
Selepasnya, ia mulai menggali lubang di tepian sungai itu menggunakan alat seadanya, mulai dari menggunakan ranting-ranting patahan pohon sampai sendok plastik yang kebetulan ia temukan. Namun ranting-ranting patah beserta sendok itupun tidak bisa menggantikan kepuasan menggali tanah dengan tangannya sendiri. Syukurlah, tanah itu tidaklah sulit digali. Ia sibuk menggali dengan jari tanganya, dan mata tuanya itu masih berkaca-kaca.
Tidak sampai sedalam dua jengkal, ia rasa galian tanah itu sudah cukup untuk keperluannya. Baginya kedalaman galian itu sudah lebih dari cukup. Lalu ia membungkus buku tebal catatanya itu dengan sebuah kantong plastik. Ia memasukan bungkusan catatan itu kedalam tanah galiannya. Ia amati catatan itu, ia dekatkan telinganya ke dalam lubang, lalu ia bertanya untuk terakhir kali kepada catatanya itu, "Untuk apa hidup yang tidak bisa berkata-kata dengan indah?" Lalu ia mulai menimbunnya kembali sembari membacakan puisi-puisi bersamaan dengan aroma tanah yang terguyur hujan.
.
Des.2022
Eko Wahyu Pratama
Komentar
Posting Komentar