CATATAN KEJAHATAN
Salam waras akal budi untuk kita semua.
Rahayu.
Dan berikan 'salam' pada siapapun yang kita temui.
Saya tidak berusaha sedang menafsirkan apa yang sudah saya dapatkan belakangan ini (meskipun saya juga ragu, bahwa saya telah mendapatkan sesuatu, sebetulnya) dan mungkin juga, kata menafsirkan seperti menyihir isi daripada catatan ini menjadi lebih bertuah. Sebenarnya, ini sekadar omong kosong. Sekadar tulisan. Tidak lebih.
ESPISTEMOFOBIA SOLILOKUI
: Jalan terjal pengetahuan manusia
Seluruh kemajuan ini--yang semakin mendesak--saya menyebutnya sebagai sesuatu yang terbengkalai. Pasalnya, apa yang hendak orang-orang besar cita-citakan, perlahan menumbalkan apa yang menjadi cita-cita kita bersama: keadilan yang berdaulat atas apapun. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, hanya angan-angan yang bisa kita suarakan lewat mimpi.
Kita seringkali harus merayakan pembangunan dengan cara yang mungkin paling sederhana, namun dengan persiapan yang mampu menguras tenaga. Maka, kemanakah para ahli sejarah kita melangkah?
Hari-hari kita telah hangus terbakar waktu, sedangkan pada sebuah hari yang tersisa--yang kita kira perubahan--tidak menemukan kesudahan, terhantam badai tanpa sebuah peringatan. Lantas kita menjual kenyataan ini dengan menyebut diri kita telah berhasil melampiaskan kebenaran.
Lebih nahas, kutukan yang selalu memburu kita, yang selalu bisa mendapatkan kita, yakni harga diri, tidak henti-hentinya mengedarkan rasa sakit. Tidak pernah berhenti menuntut untuk selalu dihargai. Meskipun dengan harga murah.
Tidak berbeda, peperangan selalu menemukan cara paling mutakhir daripada apapun di dunia ini, untuk senantiasa eksis. Peperangan telah bertransformasi, menghadirkan wajah baru perselisihan antar manusia, antar kebenaran dengan mengusung identitas tanpa adanya identifikasi. Alhasil, mereka yang tidak turut dalam peperangan inilah pihak yang (selalu) kalah.
Ideologi yang tengah diperjuangkan oleh siapapun, dengan segenap fase dan akomodasi nilai-nilai, tidak lebih hanya menjadi tempat bernaung dan berlindung dari 'trend' serta 'kebutuhan' gaya hidup, yang semakin menguap karena kehilang ide-ide besar tentang kemanusiaan. Belum lagi, ini semua hanyalah kemungkinan. Misalnya, apa yang hendak kita temukan diakhir perjalanan ini?
KOMEDI (DI) ATAS HARGA DIRI
: kritik terhadapa usaha manusia rasional
Apa yang manusia harapkan bagi keberlangsungan hidupnya, seringkali mengalami perubahan dengan segenap benturannya. Karena, tanpa kita akui sekalipun, perubahan itu niscaya. Maka, niscaya pula-lah benturan-benturan dalam hidup.
Terkadang, kita terlalu berlebihan menerjemahkan pandangan hidup kita pada realita hari ini. Sehingga membuat kita menjadi frustasi akan sebuah makna yang telah kita dapatkan.
Kefrustasian makna ini, kadangkala bertambah buruk, dengan adanya mitos-mitos pengetahuan yang mampu disuarakan masyarakat. Semisal, kita tengah mempersiapkan sesuatu yang besar yang hendak kita perjuangkan demi kepentingan bersama, namun dalam prosesnya, kepentingan ini harus tumbang oleh kesadaran praktis yang kian tumbuh--mendarah daging--pada diri masyarakat. Apalagi, kita, yang mempersiapkan perubahan tersebut bukanlah siapa-siapa dalam masyarakat, ditambah lagi, kita tidak sepenuhnya mengetahui 'siapa' masyarakat kita.
Lucunya, kita terus-menerus mempersiapkan sebuah perubahan yang lebih besar dan sudah pasti kita sedang pasrah menunggu badai menghantam.
Karena, juga tidak banyak yang memiliki metabolisme pergerakan yang baik, pada akhirnya, timbulah sebuah penyakit dalam diri manusia. Penyakit inilah yang membuat banyak orang atau sebagian dari kita merasa enggan untuk selalu berusaha dan berjuang.
(Dilematis sekali hidup ini)
DESA DAN KOTA
: narasi imajiner, kenangan dan kuasa takdir
Pulang ke desa berarti membawa pemikiran, mengakrabi tradisi intelektual, membawa hasil olah nalar serta membawa keberhasilan. Seharusnya. Sekaligus memang harus.
Merantau ke kota, seperti usiran kota raya, banyak yang jadi gelandangan, dan lupa membawa bekal: banyak perasaan yang harus terbengkalai dan akhirnya, tidak ada udara yang menghidupi. Sehingga lupa harus seperti apa jika pulang.
Itulah mengapa tidak berlebihan jika merantau bukanlah sebuah pilihan. Karena di desa, kota bukan apa-apa.
Kota membutuhkan kekuasaan desa (atau minimal wilayah penyangga dari tingkat terkecil sekalipun) sebab kota tidak bisa menjadi 'kota' tanpa sisi kedewasaan desa.
Desa adalah ibu yang bijak bagi kota. Seperti ayah, yang tidak lelah menasehati ia yang labil. Maka kota harus banyak belajar dari desa. Sebagaimana ia tidak bisa tumbuh dengan baik tanpa kasih-sayang dan pengayoman.
Jika kota sudah tumbuh 'besar', ia tidak boleh menelantarkan desa. Atau. Jikapun masih harus berkembang, kota harus melihat orangtuanya. Karena bagi kota, desa ialah segalanya.
Di kota, tak ada tempat senyaman desa, bahkan hotel tak mampu menandingi megah decitan ambin jika kebetulan tubuh tanpa sadar meliuk saat tidur, apalagi kampus-kampus itu. Bar, cafe, restoran juga tak mewakili nikmat ragawi. Hanya pekarangan, meja reot, dan laiknya tempat bermukim keramahanlah yang ampuh mengusir jenuh. Desa punya segalanya. Desa punya semestinya.
Namun bukan berarti kota tidak ubahnya desa, kota juga punya konvensi budayanya sendiri. Sudah punya laku-batinya sendiri. Maka banyak orang berduyun-duyun beralih wajah ke kota. Semoga makmur, pikirnya.
Tidak ubahnya kota, banyak desa-desa hari ini kehilangan 'pedesaanya'. Kehilangan seluruh keanggunan, sebab keserakahan manusia. Ataukah ini sebab takdir, yang mengharuskan masing-masing dari kita untuk memilih.
BENTUK-BENTUK SASTRAWI
: Puasa se-umur hidup
(1)
Sadarualira Lelara
Kirimku ialah bunga wewangian;
yang engkau sendiri memintaku
Ialah ketika Adam meniupkan hidup pada rusuknya
Ialah Isa membuat hidup pada tanah liatnya
yang engkau sendiri datang kepadaku
dan aku sendiri lebih sibuk, daripada memetik bunga
lebih ramai ketimbang sunyi
Sementara aku bersenandung, kau dan kau lebih merdu dari kesakitanku
Sebagaimana kau berdoa, aku dan aku lebih khusyuk dari gugur daun surga
Lelara, inilah bungamu: dan kau wewangian itu
//Puisi/Banyuwangi/12/08/16//
(2)
Kita Apa Saja
Subuh
Suatu hari
Sebuah
Danau itu
Sepasang merpati
Mari kita kasih judul:
Kita
Sunyi, suatu waktu, sebuah kutukan
Sepasang sendal yang menuntut doa segenggam sore hari yang ranum, yang terbungkus:
Koran bekas, koran mingguan
Berita-berita itu, kita baca yang menampilkan bayi-bayi dibunuh
Sebelum sempat menerima dosa
Kau kasih judul:
Apa saja
//Puisi/Surabaya/04/09/17//
(3)
Seorang itu mengatakan, bahwa matahari adalah gelandangan
-sebuah demonstrasi meminggirkannya
bahwa matahari selalu mengitari trotoar hati
-Dan selalu menjadi asing bagi pikiran mereka
Katanya, bulan juga demikian, menyibukan diri membersihkan sisa bayangan dari setiap yang mendahului
yang lain: seorang lebih banyak menarasikan senja, semantara yang lain tak pernah tergesa, sama sekali
Mari kembara, kata seorang itu
Apalagi yang kami sangsikan dari kediaman yang gigil
Dan memorial telah mentubi
Sebab
Seringkali, penyair menjadi gelandangan dalam kata-katanya sendiri
Sementara, hatiku sibuk mengembara
//Puisi/Surabaya/08/09/17//
(4)
Pertemuan Rahasia
Aku tidak meyangka betul, jika aku harus merasa gagal atau seperti apa—biar lebih mudah dicaci, sebut saja pengecut. Bagaimana tidak? Atau, bagaimana mungkin aku meragukan calon istriku itu (sebut saja begini). Bodohnya aku. Mengira semua ini mudah, tapi tidak semudah kelihatannya.
Kemarin saja—semenjak kami akad-i sendiri hubungan kami sebagai hubungan sepasang kekasih—aku ngoyo mau memperjuangkan hubungan kami. Lah, belum sampai medan pertempuran saja aku sudah panas-dingin, ya pikiranku sedang sariawan karena aku biarkan menelan mentah-mentah apa yang terjadi. Panas luar dalam lagi. Bayangkan! Bagaimana aku ini, bodoh. Kalau ‘saribengi’ badanku jadi dingin-panas. Sial!
“Medan pertempuran itu, ya, menemui orang tuamu. Kasih” begitu kataku, dengan entengnya. “Masa kita menyebutnya medan pertempuran, yang?” begitu entengnya juga kata kekasihku itu. “ya pokoknya medan tempur!” aku jawab sekenanya saja, daripada kami harus beradu pengetahuan yang kami dapatkan dengan cara yang berbeda-beda. Bisa lebih nahas hidupku nanti.
Modalku ya pikiran, ya niat, ya nekat, ya yang penting aku cinta. Begitu pikirku. Ngurus rumah tangga, bayi—jika perutnya tetiba mlembung—imut, ngurus makan—kalau-kalau perutnya mlempem—juga, ya pokoknya sandang-pangan-papan itulah, ya, pokoknya nanti, sambil berumah tangga ya sambil jalan. Pikirku.
“Yang, sebenarnya aku sudah dijodohkan, maaf aku baru memberitahukanmu ini”
“Sekali lagi, maaf yang. Kau tak gentar, kan?”
“Aku memilihmu kok. Aku pilih sampean, yang”
“Aku tresno sampean, yang” Modar aku! Dari yang semula ngoyo aku jadi loyo.
“Siapa?”
“Siapa kasih?” Aku rasa ini pemaksaan, aku juga memaksa ingin tau jadinya.
Waduh, ini biang 'sari-sarian'nya ternyata. Belakangan juga aku tau sendiri siapa calon dari kekasihku itu. Aku kira, jodoh takdir Tuhan. Semacam rahasia yang diatur-lah, pokoknya begitu. Lah kok ini diatur manusia sendiri. Sebut saja kekasihku ini, misal. Dia dijodohkan dengan seorang kerabatnya sendiri, entahlah bagaimana mulanya, katanya itu untuk menjaga kemurnian. Haduh, yang pasti, yang pokoknya pokok, aku harus bersiap perang. Titik! Aku tidak gentar, samasekali, tidak. Aku harus lebih banyak komentar dengan menggunakan akal. Asal tidak meng-akali saja, itu masih halalan tayhiban.
“Sesunggunya, dengan sungguh sajalah, kasih, kita harus berjuang mewadahi getar perasaan kita. Berusaha memaklumi apa yang harus menjadi mungkin” semisal dia harus tidak bersamaku—lagi—nantinya..
“Ini perjodohan warisan, yang” Apalagi itu. Kami harus lebih ngoyo lagi.
Dengan sesungukan, dia menggigit jarinya sendiri, dan aku harus mengunyah nasib. Barangkali. Takdir harus tetap menjadi kenyang dan lapar, rahasia pokoknya tidak boleh jadi kesimpulan. Titik!
Apakah aku merasa gagal? Tentu. Tentu tidak. Tidak tentu maksudnya. Belum saja aku bertempur, lah kabar itu semacam lusinan bom atom yang dijatuhkan dari langit-langit. Sasarannya? Ya pikiranku, lah. Belum lagi perasaanku yang kena roket kendali, berkali-kali, em, bertubi-tubi. Ah! Anggap saja teror perang. Tapi beruntungnya aku, kalau saja perang ini perang politik, aku bisa kalah kandidat. Kalau perang kekuasan, tentu kalah wilayah aku. Kalau perang ini perang Mahabarata, ya aku kesusahan membuat kereta perang, apalagi kuda sekarang harganya mahal.
Kalau-kalau perang ini perang-perangan, toh aku sudah dewasa. Tapi ini perang rahasia, maka beberapa dari kami tidak menyebutnya sebagai perang—sebagaimana perang kebanyakan. Ini perang rahasia. “Maka, sampean tidak perlu khawatir, kasih” begitu kataku padanya.”Jadi, kekuatan yang sampean miliki juga rahasia, yang?” “Belum tentu, tentu belum” “Lah kok gitu sih, yang?” “Ya, cobahlah kita berdiplomasi, mengadakan kerjasama multidimensional dengan keluargamu. Kita musyawarahkan, kalau perlu kita adakan kongres” “Supaya pertempuran ini urung jadi” dan dia lebih panas-panas dingin, dingin-dingin panas.
***
Ternyata aku lebih banyak diam daripada berkomentar, dan ini malah membuatku semakin ragu saja. Semenjak aku hendak nekat kerumahnya--untuk menghadiri kongres, dia menangis sejadi-jadinya. Baginya, belum saatnya aku datang. Mungkin. Tapi ini masih rahasia. Semoga tidak ada juru intai dari kemenderitaan. Maka batal-lah aku menghadiri kongres luar biasa itu.
“Aku rasa, meski semoga jangan, aku seperti Hanoman dalam pewayangan yang mencintai Dewi Trijata tanpa bisa bersamanya” Kataku. “Tapi sampean tidak punya ekor, yang” “Tapi aku tetap seperti Hanoman” “Dan aku tidak secantik Dewi Trijata, Yang”.
"Apa yang membuatmu takut, kasih?”
"Rahasia itu, yang. Rahasia itu” Tetap dengan airmata bercucuran.
"Kasih, berilah rahasia itu rahasia”
"Maksudnya, yang?” dia makin bingung.
"Jika kita memberi rahasia dengan rahasia, dalam rahasia, untuk rahasia, maka yang menjadi rahasia hanyalah kehendak Tuhan. Jika begitu, maka janganlah menyerah, sebab kita ada dibarisan para pejuang” seperti berkhotbah diatas bukit saja.
Memang suasana sedang kontras-kontrasnya. Belum lagi, aku harus menjadi sebijak mungkin dengan perasaanku yang berjumpalitan. Aku harus tetap menjadi arif, meski harus bersitahan terhadap lusinan bom atom yang masing-masing ledakannya saling bersiutan dengan rasa ngeri 'nong njero batin isun'.
"Aku makin pusing, yang”
“Maksudnya, kalau ini rahasia, ya kita harus menjadi rahasia bagi ke-rahasia-an itu sendiri" jawabku seakan aku ini seorang profesor fisika kuantum.
“Jadi rahasia diatas rahasia?” Tanyanya polos. Kepalaku pun berdenyut. “Ya! Itulah takdir” Jawabku segera, sebab, kalau aku menjawab tanpa dibarengi dengan ibaan, maka yang terjadi, kami hanya meratapi nasib tanpa berjuang dengan segera memenuhi takdir kami sebagai manusia. Ya, manusia.
Apa yang aku ragukan dari calon istriku ini? Kalau aku masih bertanya begitu, tentu aku tidak gagal. Tetapi, barangkali sebagian saja. Apalagi yang aku ragukan dari calon istriku? Mestinya, aku tidak boleh ragu. Aku harus kuat, kudu K-U-A-T. Hahaha.
“Mas, bagaimana kabar perjodohanmu?” ah! Sial satu bom itu meledak tepat sasaran. Wah! Ini genosida! Medis! Medis! Medis!
“Kapan sampean menikah?”
“Dihari pernikahanmu, kasih” Jawabku sekarat.
“Sekarang dong!?” Tanyanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal samasekali.
"Ya, dan itu, perempuan yang berkerudung hitam itu calon istriku” Aku memandang calon istriku yang duduk sendirian disudut ruangan ini, sembari melempar senyum. Selang beberapa lama, suami dari kekasihku itu dinyatakan menang dari sebuah perang yang berlangsung dalam takdir-Nya, dan dia tersenyum.
Apa aku gagal?
"LOH!”
//Kisah-lusuh/Banyuwangi/28/12/12//
SUARA ITU, DOA UNTUK HARI INI
: beberapa melodia
Catatan ini, saya persilahkan untuk menemukan tempatnya sendiri. Dengan begitu, semoga ada sesuatu yang membekas kepada siapapun yang membacanya.
Atau paling tidak, saya telah memulai (kembali) untuk menulis. Sebab, bagi saya, kegiatan menulis sudah semestinya menjadi kebutuhan kita. Juga, bagi saya, dengan menulis, ada sesuatu yang mampu kita tawarkan untuk masa depan. Terkait nanti kita ingin memublikasikan hasil tulisan kita atau tidak, itu perkara lain, sudah menjadi kewajaran pilihan masing-masing.
Kalaupun kita belum sepenuhnya 'mampu' menulis, minimal janganlah kita menjadi sebab orang lain untuk tidak atau malah berhenti menulis, bagi saya, ini adalah kejahatan besar.
Saya sangat berterimakasih, jikalau catatan ini terbaca hingga tuntas, dan syukur jika beberapa isi dari catatan ini menjadi lecutan semangat bagi penulis ataupun si pembaca.
Saya berharap, sudilah kepada para pembaca catatan ini untuk senantiasa pula mengingatkan saya untuk terus meningkatkan kualitas tulisan saya.
Mohon maaf jikalau 'format' dari tulisan ini begitu semrawut, begitu berantakan dan mungkin sulit terbaca. Sekali lagi saya mohon maaf. Sebetulnya juga, dalam catatan ini, saya ingin terlepas dari batasan-batasan yang mengekang kita sebelumnya.
Salam waras akal budi untuk kita semua.
Rahayu..
Dan selalu berikan 'salam' kepada siapapun yang kita temui.
Lakonono temu dalane.
Dari saya, saudaramu.
(Eko Wahyu Pratama)
mantab suhu......
BalasHapusDitunggu dalam bentuk cetakan ya mas 😄
BalasHapus