Tukang Patri
Tukang Patri Dan Apakah Sebungkus Nasi Mengabarkan Luka?
Sekarang, kebanyakan orang, jika mendapati ada panci atau wajannya bocor lebih memilih membuang atau meloakannya, daripada memperbaikinya.
Dulu, untuk mengatasi hal demikian, orang-orang akan menggunakan jasa tukang patri. Ya, tukang patri mampu membuat panci yang semula bocor, sekita mujarab lagi buat olah-olah di dapur.
Nahas, pada zaman yang sudah tidak ingin ditambal inilah jasa tukang patri tak lagi seberkhasiat dulu. Orang-orang lebih memilih membeli panci baru lantaran daya beli manusia kekinian luar biasa besar, apalagi gengsinya.
Namun, dalam kebocaran zaman yang sedemikian rupa, Tukaji masih setia dengan penggawaiannya itu. Pria sepuh 60 tahunan itu sudah mendedikasikan hidupnya pada alat patri yang usang. Bersama sepeda ontel yang juga reyot, ia mengitari jalan-jalan desa, dengan ketabahan diatas rata-rata ia menunggu pelanggan.
Tukaji tidak menyebut semua itu sebagai kemalangan, ia masih menganggap dirinya adalah orang yang paling mujur. Bagaimana tidak, jika kebanyakan orang masih mengontrak atau masih numpang hidup kepada orang tua, Tukaji beda. Ia diberikan keleluasaan untuk memilih dimana pun ia akan tidur. Tukaji bebas menentukan dimana ia akan mandi, buang hajat dan sebagainya. Bahkan ia bebas melayani dirinya.
Kalau kebetulan ia mengemper di pelataran toko, lantas hujan turun, ia malah bersuka cita. Sebab air yang memercik mengenai tubuhnya adalah keberkahan yang menumpuk. Ia pun menangis. Entah apa, yang jelas hujan dan basah sudah karib dengannya.
Diantara ketabahannya, Tukaji adalah orang yang menaruh kebencian pada kepongahan, apalagi pada setiap dada yang meletup-letupkan kepalsuan. Sepanjang karirnya sebagai tukang patri ia menganggap manusia sebagai satu-satunya parasit yang harus segera diurus. Ya, hampir sama seperti filsuf dari Miletus, Heraklitos. Ia menganggap manusia tidak berguna, tidak penting, ia menganut paham misantropik. Tapi tidak melulu demikian, sungguh, Tukaji lebih kompeten daripada Heraklitos yang akhir hidupnya penuh tragedi dan kelucuan.
******
Gerimis itu tak urung reda, mulai lepas Asyar hingga lepas Isyak belum juga berhenti. Itu juga yang membuat Sahaja mengolor waktu pulangnya. Ia memilih ngopi pada warung disebelah masjid tempatnya mengaso. Sendirian, tak perlu ramai, ia ingin merasuki waktu. Menjajahinya dan menemukan, bahwa segalanya pasti berubah. Lantas, malah waktu yang menuntut segala hal.
Sahaja adalah seorang bankir muda, yang dengan segenap kemajuan zaman, ia masih setia pada ajaran-ajaran luhur. Sering menyantuni anak yatim, gemar bersodakoh, taat membayar zakat dan segala urusan dunia-akhirat ia jadwalkan.
Ketika ia asyik menunggu redanya gerimis, pada jalan yang basah, Sahaja melihat seorang tua menuntun sepeda ontel berbaju lusuh dengan kotak peralatan di bagian belakang dan gulungan seng diatasnya. Nampaknya itu adalah tukang patri yang sering ia jumpai di jalan-jalan. Meskipun begitu, ia masih tidak tahu siapa dan mengapa.
Tukang patri itu perlahan-lahan menyusuri gerimis sembari lampu jalan yang redup tak terurus mengiringi langkahnya. Dengan semua daya artistik alamiah itulah, Sahaja menjadi prihatin. Ia pesankan sebungkus nasi, sambil matanya tetap membuntuti kepergian tukang patri itu. Setelah pesanannya jadi, ia bergegas menghampiri tukang patri.
Sahaja berlari menghampiri, ia tidak lagi memperdulikan gerimis yang perlahan membasahi tubuhnya, ia lupa tujuannya mengaso untuk apa, tapi ini perkara lain. Ini perkara kemanusiaan. Lalu sesampainya di depan tukang patri, ia hentikan pria sepuh itu.
"Maaf pak, ini pak ada sebungkus nasi" sembari Sahaja menyodorkan sebungkus nasi itu.
Pria tua itu tak menjawab, ia hanya menunduk ringan dan tangan kanannya melambangkan penolakan.
"Tidak apa pak, monggo, pak" Sahaja sedikit memaksa, sebab ia tahu, barangkali pria sepuh ini belum mendapatkan pelanggan.
Sekali lagi tukang patri itu menolaknya, malahan sekarang juga dengan paksa.
"Ora!" Jawab tukang patri, singkat dan penuh tekanan.
Sahaja, bankir muda itu masih saja berusaha membujuk, akhirnya ia memaksa menaruh bungkusan nasi itu pada stang sepeda tukang patri. Namun masih saja dengan penolakannya.
Akhirnya, pada jalan yang sepi itu, sembari gerimis, terjadilah pertentangan yang aneh. Seorang bankir yang merasa perlu memberikan sebungkus nasi dan tukang patri yang tidak ingin dikasihani.
Syahdah! Tukang patri mengacungkan tangannya keatas, sambil berujar.
"Ora, aku tidak butuh ini, sudah, cukup!" Sembari ia mengambil bungkasan yang bimbang pada stang sepeda.
Ia pun mengangkat sebungkus nasi itu lantas membantingnya, tanpa kabar yang lain, tukang patri itu meninggalkan Sahaja begitu saja sendirian dimakan kegetiran lantaran pemberiannya ditolak dengan seribu makna.
Isyarat apakah ini, batin Sahaja. Ia menjadi beku, seluruh pikirannya berkecamuk dan mengawang-awang buyar. Ia tidak pernah menjumpai keadaan yang sedemikian membingungkan. Ia pun melangkah gontai, perlahan, ia tertimbun pikirannya.
******
Tukaji masih perlu melanjutkan perjalanan, sebab sudah dua hari ini ia tidak mendapatkan pelanggan, padahal hari masih saja gerimis, tapi namanya usaha, ia melanjutkan perjalanan.
Malam itu, gerimis benar-benar membuat Tukaji bersemangat menawarkan jasanya. Ia susuri setiap jalan-jalan desa. Namun Tukaji tidak menaiki sepedanya, sebab sepeda itu sudah usang, belum lagi Tukaji sudah kehilangan kemahiran menyeimbangkan diri diatas sepeda. Maka ia kebanyakan menuntun sepada tuanya itu.
Tiba-tiba Tukaji dihampiri seorang pria tanggung, berperawakan tegap dengan wajah sumringah menawarkan sebungkus nasi. Ia lihat, nampaknya pemuda itu seorang yang mapan.
Namun Tukaji menolak pemberiannya, sebab Tukaji tidak ingin dikasihani, ia bagaimanapun juga masih setia dengan pengorbanan dan harga diri. Selapar apapun ia, ia tidak ingin dikasihani. Sungguh ironi, disaat para pejabat yang sudah terjamin kenyangnya masih saja meminta disuapi dan makan kepada rakyat, disini Tukaji teguh dengan pendiriannya.
Bukanya ia tidak menghargai sebuah pemberian, namun Tukaji memiliki komitmen. Hantinya kecut kalau sedikit-sedikit ia dikasihani. Maka ia menolak pemberian orang sekecil apapun itu.
Hati Tukaji tersirap, ia membuang pemberian pemuda itu, lantas ia begitu saja melengos pergi, tanpa mejalaskan banyak hal kepada si pemuda.
Di malam itulah, Tukaji dalam hatinya meraung-raung meminta keadilan dan kewarasan dalam ketidakberdayaannya menghadapi perubahan.
.
.
.
.
.
Hak e!
BWI/cerita/2021
Eko Wahyu Pratama
Komentar
Posting Komentar