Pekik Hal Dan Lain-lain



Pekik Hal Dan Lain-lain



Syahdan, gemuruh ombak di tepian pantai Samudro Welas para nelayan dan segala apa yang menjadi kesadaran samudera raya berjalan sebagaimana mustinya.

Pada sebuah lincak bambu, sembari menikmati angin semilir yang berembus mengeringkan keringat, Cakil dan Bata sejenak mengaso. Sebab perjalanan jauh mengemban titah Ki Ageng Kala Khawatir. 


"Kalau mungkin yang aku kenang hanya masa depan, haruskah aku pergi ke masa lalu?" Tukas buto Cakil kepada buto Bata.

"Kalaulah dia berada di sana, masihkah mampu waktu mengutuk pertemuan?" Lanjutnya.

"Hus! Ngawur kamu itu. Ngomong mbok-ya sing jelas. meskipun kita buto, bukan berarti kita harus serakah. Ngomongmu itu sudah seperti menteri-menteri Yunani kuno wae. Ayolah, kita berperan seperti biasa saja" sahut buto Bata, sembari menyulut perdiangan pada ujung bibirnya.

"Lah! Dirimu, kan, belum mengalami yang namanya cinta, to, belum tahu rasanya rindu, kan?" Tanggap Cakil, sekarang ia berlagak ketus.

"Lah apa memang dirimu lebih tahu itu daripada aku?"

"Ya aku tahu dong, indikatornya kan membuat aku 'ngoyo' untuk memikirkan dia, ya kan?"

"Indikator...indikator panganan opo kui? Ya apa harus dengan memikirkan sesuatu dengan 'ngoyo' yang kamu maksud itu selalu bisa disebut cinta? Apa ya bisa disebut rindu?" 


Cakil mendadak berpikir jauh, menimbang apa yang sebelumnya sudah terlanjur keluar. Jangan-jangan memang dia lagi ngelantur.


"Opo ya iyo yo? Asem ane, pertanyaanmu kok ya filosofis ya? Habis baca buku apa kamu But?" Sambut Cakil pada Bata, memelas jawaban.


"Jangankan buku, membaca saja aku tak bisa! Hidup ini kan mung sandiwara. Cuman mampir untuk belajar. Kadang juga perlu 'sok-sok-an'. Hidup itu kudu profesional."


Sejenak dua karib itu terdiam, entah untuk menimbang omongan masing-masing atau sekadar kehabisan bahan obrolan. Penulis juga kurang tahu. Mungkin gelagat hari punya jawaban.


"Kil, Cakil saudaraku, yang setiap peranmu selalu dijadikan jahat." Bata membubarkan hening.

"Kita boleh bebas menerjemahkan rindu, tapi kita juga tidak boleh sembrono memahami sebuah pertemuan." Sambil meniupkan kebul rokok ke atas, seakan kata-katanya memang sulit dimengerti sebagian orang.


Cakil mulai sigap menangkap apa yang tengah Bata sampaikan. Ia membenarkan posisi duduknya, menata hati dan Cakil mulai melinting tembakau.


"Perasaan terkadang memang menipu, perasan juga bisa membikin manusia lupa. Namun, secara khas, perasaan juga yang bisa membuat manusia lebih manusiawi."


"Lah, kok bisa? Kenapa kita musti butuh kemanusiaan? Lah kita ini kan Buto, simbol Angkara bahaya!" Cakil menyambar

"Buto atapun bukan, bahkan Hapsari atupun para dewa khayangan juga sejatinya butuh kemanusiaan, sebab kemanusiaan yang membikin dunia ini ada" jawab Bata sembarangan.


Cakil membanting pandang pada kakinya, yang tanpa sadar sudah berayun-ayun seperti pada punggung kakinya ada cermin. Ia tertawa kecil. 

Sedangkan Bata, dari matanya terlihat ia sedang mengoreksi kata.


"Wis, hop! Ndak usah ndakik-ndakik, lah. Ayo, wes wayahe ini. Pakeliran memanggil!" Ajak Cakil, membuyarkan.


Buto-buto itupun bergegas, memenuhi takdir yang menjelma tangan dan pikiran si dalang, serta berlagak lupa, kalau ada minuman yang harus dibayar.


******


Siang itu, pada tepian pantai yang langsung terhubung dengan Samudro Welas telah berdiri seorang gagah, mengenakan destar klawu, pada lengannya tiga lempengan perak menghiasi, terselip keris berhulu lebah dipinggang, sebilah pedang pada sisi kirinya serta tangan kanannya menggenggam tombak. Ia mengenakan baju tak berlengan bergambar welut mlungker. Ialah Senopati Sastra Wiraswasta alias Joko Basa alias Mahmud Idrus alias Bambang alias Aseli. Senopati nagari Kidul.


"Apakah Adipati Bijak Pangestu ratu nagari Kidul memang menghendaki sahaya berangkat sendirian menghadang kroco-kroco Kala Khawatir?" 

"Ataukah Gusti Adipati berniat membinasakan sahaya?"

"Biar Sahaya hilang dari sorak-sorai kemenangan?"

"Tanpa pasukan gajah, jangankan prajurit berkuda, kawalan pasukan kakipun tak ia berikan!"

"Apa kiranya yang membuat sahaya mengalami hukuman ini tanpa peradilan?"

"Patik telah persembahkan apa yang kiranya tepat untuk nagari, yaitu tiada lain hal, yaitu kesetian yang tiada dua, bahkan pada nagari di atas angin sana, patik berani katakan, sahaya adalah orang yang paling setia"

"Bukankah sudah sahaya bilang begitu?"

"Dan peradilan memang tidak perlu diumumkan ketika Adipati Bijak Pangestu mentitahkan"

"Sabda ratu tan kena wola-wali"

Ya, ia memang perwakilan dewa-dewa, tapi..

"Sekarang Sahaya bisa jadi Senopati lola begini!"


Meskipun siang itu barang mendung secuilpun tak bertingkah di atas langit, namun dihantinya lain hal, ia meraba-raba, pikirannya melayang-layang. Senopati itu menimbang segala sesuatu. Aseli alias Senopati Sastra Wiraswasta sedang meninjau keadaan. Dari kejauhan dua bintik dengan cepat mendekat, lalu menjelma perawakan tinggi jangkung dan satunya besar nggedibek. Cakil dan Bata memapak Senopati Mahmud Idrus alias Aseli.


"Kil, jangan lupa, dengan gaya" Bata berbisik.

Sebelum dekat barangkali dua depa dari bidikan, mereka meloncat, masing-masing tangan kiri berkacak, tangan kanan dimainkan sesukanya.


"We...e....e.... Senopati Sastra Wiraswasta! Ada perlu apa kau kemari? Sudah dibuangkah kau? Sendirian menyetor hidup, tanpa pengawalan?" Sergap Bata


"Waaa..... Barangtentu, ia sedang dibuang But!" Sambung Cakil, lanjut terkekeh.


"Ayoh! Sini, biar aku antar kau ke kerak bumi!" Tantang Bata.


"Diam saja! Hah! Sudah tak bergairah hidup nampaknya!" Memanasi keadaan.


Melihat buruannya tak juga terpancing, membuat dua punggawa pilihan Ki Ageng Kala Khawatir menjadi prihatin.


"Hei But, kenapa dengannya, dari sorot matanya ia sedang bimbang" Cakil meminta jawab pada Bata.


"Betul juga Kil, nampaknya ia menjadi korban dari kerakusan penguasa. Ia korban dari kepentingan!" 


Perlahan, gaya dua punggawa Akigol pimpinan Ki Ageng Kala Khawatir mulai mereda, berubah menjadi gelagat penerimaan.


Bata dan Cakil berpandangan, mereka berunding dengan batinnya, lantas sepakat begitu saja untuk tidak lagi berlagak mencak.


"Sepertinya, kau tak berselera melawan kami, apakah gerangan kiranya yang membuat kau jadi begitu lola?" Tanya Cakil pada Senopati yang sedari tadi mematung gelisah.


"Ya, benar, tak wajar ada kesatria yang linglung sepertimu" tambah Bata menawari percakapan.


"Bunuhlah aku jika kalian perlu" singkat dan begitu tak terjamah jawab Bambang alias Senopati Sastra Wiraswasta.


Malahan jawaban singkat itu membuat Bata dan Cakil kebingungan tujuh putaran galaxi!


"Hei, ada apa? Mengapa kau begitu sembrono? Bukankah kau berpakaian kedinasan, memegangi tombak hendak memporak-porandakan Akigol? Hendak membunuh Ki Ageng Kala Khawatir junjungan kami?" 


Lalu Senopati nagari Kidul bersimpuh, pasrah, ia kehilangan harap.


"Silahkan pilih, mau kalian apakan aku, memenggal? Menusuk? Mengoyak? Silahkan. Mari" Aseli mempersilahkan.


"Wealah, onok opo cah iki Kil? Aku jadi teringat diriku sendiri, yang kalau teliti juga banyak menjadi korban kekuasaan" 


"Ku terka juga demikian adanya But, terpancar dari dirinya tumbal kepentingan!" 


Sama!


Seakan meladeni permenungan, Cakil dan Bata nimbrung bersimpuh dibawah matari didih siang dengan Senopati nagari Kidul itu.


Sepakat!


"Wahai kesatria lola, ningrat nagari Kidul, tumbal utusan penguasa, ceritakan pada kami, barangkali ada jawab pada kami" Cakil menawarkan diri.


"Sedialah, kami tak akan segan berbagi" tambah Bata menguatkan.


Mahmud Idrus alias Bambang alias Senopati Sastra Wiraswasta mengehala napas, menyenggalnya diakhir kerlipan mata.


"Terimakasih atas curahan welas kalian. Aku terima tak barang secuil saya bohong" ia pandangi bergantian Cakil dan Bata.


"Namaku.... Sebut saja aku Aseli tak lebih" seakan tahu isi kepala, ia melanjutkan.


"Tak ada sekarang pangkat Senopati padaku" sambungnya.


Bata dan Cakil terpekur mendengarkan. Lantas Cakil rogoh sakunya, mengeluarkan tembakau dan cengkeh.


Dan pasti, Joko Basa melanjutkan.


"Kurangkah apa padaku? Kesetian sudah aku gelontorkan, bahkan jiwa ragaku tak berkekurangan" 


Bata dan Cakil khidmat sembari sedal-sedul.


"Apa aku salah memilih tempat mengabdi?" Tanyanya menjurus meminta perlindungan.


Selebihnya percakapan mereka bernaungkan kesejatian, tanpa bisa didengar makhluk sembarangan!


Lantas dari kesemestaan jagat raya menciptakan pola kesejatian, dan itu telah membikin langit merekah menimpakan cahaya yang tak lagi menyengat, malahan, cahaya yang tiban di atas ubun-ubun mereka merasuk. Menyempurnakan pertemuan yang aneh.



Cut!



/Carita/EkoWahyu/

Muncar/06/09/21



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkara Ilmiah

Kadir Jaelawi

Subjek dan Tragedi