Santri dan Alien di Padang Kuru


Santri dan Alien di Padang Kuru


Ia sebagaimana biasanya selalu terbangung subuh hari, setelah kumandang adzan selesai pada kalimah la ilaha' illallah  dan doa sesudahnya, ia pun bangun. Bergegaslah ia mengorek beleknya yang menggumpal sambil berjalan menuju kamar mandi. Ia gerakan dengan mantab kepalanya, ke samping kanan dan kiri dan "kretek.. tek.. kretek…" berbunyi lulang lehernya pertanda ia sudah sadar. Dan mandi subuh hari sudah biasa serta waktu yang dihabiskan untuk kegiatan itu selama tiga menit adalah terlalu lama. Ia selesai. Seperti biasa.


Selepasnya, lemari tua yang tak mau menutup rapat itu telah manjur membikin ia tampak sebagaimana pula seorang santri berdandan, pikirnya. Setelan kaos dan peci hitam lawas warisan senior serta sarung yang terdapat lubang bekas rokok sana-sini nampak khas dengan karakternya seorang.


Berjalanlah ia menuju masjid pondok, lalu berbarengan iqomah, sebelum sempat ia masuk ke dalam masjid, tetiba seberkas cahaya terang menimpanya. Hal itu membuat ia kesilauan lantas membuatnya tersandung dan kepala yang terbungkus peci itu jadi terbentur pada tangga pertama yang bertuliskan "batas suci". Ia memejam kesakitan, meringis dan begitu ia membuka mata, mulutnya telah banyak mengecapi butiran pasir.


"Waduh Gusti, dimana aku?" gumamnya linglung. "Mengapa aku tiba-tiba berada disini?" Betapa terkejutnya ia, santri itu telah berpindah tempat! Santri itu telah berpindah tempat dan waktu! Memang banyak orang tua dulu yang mengatakan, bahwa kalau ada orang yang tertidur di tempat pengimaman sholat maka jasadnya akan dipindahkan jin kedalam bedug. Tapi ia tidak melakukan hal itu. Dan tentu ini bukan di dalam bedug!


Ia mencari paham dengan apa yang barusan ia alami. Ia dapati sepanjang pengamatanya, hanya ada hamparan tanah lapang  berpasir serta beberapa bukit berbatu. 


Seperti cerita dalam film-film, jika dalam kondisi tersesat tidak tahu arah, maka carilah tempat tertinggi untuk meninjau keadaan. Dengan itulah ia memilih satu bukit berbatu untuk ia daki. Sesampainya di atas, betapa terkejutnya ia mendapati dua kubu pasukan tengah bersiap berperang. Masing-masing pasukan membawa panji-panji beraneka warna. Semakin bingunglah ia.


Ia amati dengan teliti, dari dua kubu itu, masing masing memiliki ratusan kereta perang berikut para saisnya. Ribuan pasukan berkuda dan tidak terjumlahkan lagi yang bertombak. Betapa ini seperti cerita-cerita besar yang sering kakeknya ceritakan. Tentang sebuah peperangan merebutkan kebenaran. Perang yang selalu di sulut para manusia dan tuhan dipaksa ikut ke dalamnya. Apakah Tuhan juga menghendaki si santri untuk masuk kepada kronik semacam itu?


"Dan apakah memang kebenaran itu untuk diperebutkan?" Batin si santri menebak-nebak.


Santri pondok itu terjebak pada kondisi yang tak pernah ia sangkakan akan terjadi itu semakin dibuat terdiam ketika suara-suara nyaring dari cangkang kerang yang ditiup mulai disahut-sahutkan di antara kedua kubu pasukan. "Pertanda perang akan dimulai kah?"

Dulu kakeknya mengatakan, bahwa pertanda perang akan segera dimulai adalah ketika terompet yang terbuat dari cangkang kerang mulai diperbunyikan.


Dengan berhentinya tiupan itu, terlihat dua kesatria dari masing-masing kubu akan melakukan duel satu lawan satu. Dua kesatria itu memiliki badan yang besar dan tegap dengan pedang dan tameng sebagai pelengkapnya. Mula-mula mereka akan saling berpandangan, saling bertukar ocehan, mungkin juga saling beradu pendapat sampai pada saatnya mereka akan saling menghunuskan pedangnya.


Bagaimanapun, bagi santri itu, perang tidak dapat dibenarkan. Sebab itulah yang ia dapati dari nasihat kakek. Dengan keluguan dan motif kebaikanlah, ia berteriak sekuat tenaga dari atas bukit itu. Berharap mereka mendengarnya dan  tentu saja ia akan bertanya banyak hal. Tapi keriuhan sorak sorai perang dari kedua kubu telah menelan teriakannya. 


"Berhentilah kalian!"

"Jangan lakukan itu!"

"Apakah kalian akan benar-benar saling membunuh?!"

"Hoiii!"

"Apakah kalian semuanya tidak memiliki keluarga?!"

"Bagaimana nanti nasib seorang anak yang telah ditinggal bapaknya ke alam kubur akibat perjumpaan maut di medan perang!?".


Usahanya tidak membuahkan hasil selain membuat tenggorokanya kering dan ia merasa sangat kehausan. Tapi itu tidak menghentikan usahanya dalam melerai perang besar. Bagaimanapun, sebisa yang ia upayakan, ia akan tetap mengikuti nasihat kakeknya itu.


"Meskipun aku tidak tahu dimana aku sekarang, dan siapa kalian. Tentang apa yang kalian perebutkan, atau apakah yang kalian pertahankan, aku tetap akan menghentikan ini" jawabnya lirih sembari menuruni bukit berbatu menuju medan laga.


Kedua belah pasukan yang dari kejauhan melihat seorang muda yang berlari tersengal-sengal, sejenak menghentikan perduelan itu. Mereka dengan sabar menunggu seorang itu untuk  sampai suaranya terdengar dan menuntaskan keheranan mereka. 


Dengan semangatlah akhirnya si santri itu mampu berada tepat di antara kedua belah pasukan.


"Berhenti!"

"Apakah yang kalian lakukan?"

"Tidakkah kalian mencoba menyelesaikan masalah dengan baik-baik?"


Salah satu kesatria menjawab, "kami sedang berperang" 

"Dan ini adalah cara yang paling baik" jawab kesatria lainnya. 


"Tapi apakah dengan berperang semuanya dapat teratasi?"

"Lagi pula, di antara kalian tidak ada aku jumpai mana yang baik dan mana yang buruk. Kalian semua sama saja!" Imbuh si santri dengan napas tersengal-sengal.


Sontak, dengan apa yang telah si santri katakan telah membuat sebagian pasukan terpingkal-pingkal. Sebagian lagi merasa iba dengan keadaan yang tengah terjadi.


Lalu, dari sebuah kereta perang yang dilapisi emas yang ditarik oleh dua kuda berwarna hitam-putih, turunlah seorang yang mengenakan mahkota perak dengan jubahnya yang banyak dihiasi manikam berkilau perlahan berjalan menghampiri si santri. 


Seorang yang tampaknya adalah si raja itu sejenak memperhatikan si santri. Ia pandangi dengan teliti si santri itu dan lantas menyungging senyum kepadanya. 


"Apakah kamu kehausan wahai anak muda?" Bertanya si raja kepada si santri.

"Itu tidak penting, yang terpenting adalah perang ini harus diakhiri!" jawab si santri dengan sekuat tenaga menyembunyikan rasa hausnya.


"Tenanglah anak muda" sambil si raja mengangkat tangannya.

"Arjuna, kemarilah, bawakan anak ini secawan air!" Teriak si raja kepada salah seorang kesatria.


"Berasal dari manakah engkau wahai anak muda?" Tanya si raja sembari menyodorkan secawan air kepada si santri.


Tidak mempertimbangkan apa-apa lagi, akhirnya si santri itu menyerobot cawan berisi air itu lantas meminumnya.


"Terima kasih untuk airnya, sekali lagi terima kasih" jawabnya lega. Lalu ia melanjutkan.

"Aku berasal dari…." Ia berhenti, bingung mau menjawab semacam apa. Kalau ia jawab ia berasal dari bumi, apakah yang sekarang ini bukan bumi? Kalau si santri menyebut ia berasal dari masa depan–karena pertimbangan style pakaian–ia akan dianggap sinting. Dan bisa saja si santri sendirilah yang berasal dari masa lalu?


Si raja pun mendehem membuyarkan kebingungan si santri. Akhirnya, si santri mengatakan, "Aku berasal dari Indonesia!" Ya, si santri hanya kepikiran itu, hanya kata Indonesialah yang terlintas di kepalanya. 


"Indonesia? Dimanakah itu? Apakah itu adalah kerajaan yang penuh kedamaian?" Sambut si raja penasaran.


"Di…. di sana!" Si santri menunjuk bebas, karena sekarang ini ia memang tidak tahu di manakah Indonesia.

"Ya, Indonesia adalah kerajaan yang penuh kedamaian. Tidak ada perang di Indonesia. Tidak ada pertikaian di sana" si santri mengimbangi pertanyaan si raja dengan menyebut negaranya sebagai kerajaan. Yang pasti, dengan ia menyebutkan begitu, perang tidaklah lagi berlanjut dan "Indonesialah" yang akan bekerja mendamaikan mereka.


"Begitu" jawab si raja singkat dan penuh pertimbangan.

"Lalu, bagaimana caramu bisa kesini?" Timpal si raja.


"Aku tidak tahu pasti, yang jelas, ada seberkas cahaya yang begitu menyilaukan dan tiba-tiba aku berada di sini" si santri menceritakan apa adanya. 


Lama mereka saling berbicara, sampai pada akhirnya si raja yang nampaknya seorang "wasit" kala itu meminta semua orang di medan peperangan untuk duduk menyimak pembicaraan mereka.


"Kalian semua, duduk dan resapilah ini. Untuk sementara perang berakhir!" Teriak si raja disambut suka cita.


"Baiklah anak muda, sekarang ceritakanlah bagaimana Indonesia bisa menjadi Indonesia. Dan ceritakanlah bagaimana cara Indonesia mengatasi peperangan, perpecahan, kemiskinan dan seluruh kesemrawutan dunia". Tanya si raja penuh harap.


Saat akan mulai merangkai cerita-cerita itu, si santri mendadak mengantuk hebat dan menguap. Kantuknya itu sudah tidak bisa ia tahankan dan pada akhirnya ia terlelap di antara kedua belah pasukan. Yang menurut hemat ingatanya, mereka seperti berada di Padang Kuru dalam sekuel perang Bharatayudha.


******


Sekarang menunjukan waktu menjelang adzan dzuhur pada sebuah pondok pesantren yang ditumbuhi banyak pohon kelapa dan bunga-bunga mawar. Pondok pesantren itu berada di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota raya. Sedangkan, setiap santri-santrinya sibuk menimba ilmu dari ragam pengetahuan. Ada yang mondok sambil menempuh sekolah kejuruan, ada yang menempuh aliyah, ada yang kuliah dan ada yang memilih mengabdi penuh pada para kyainya.


Lalu, di dalam sebuah ruangan kesehatan pondok pesantren itu, ada seorang santri yang baru saja siuman dari pingsannya. Dikatakan oleh teman yang menemaninya, bahwa ia ditemukan di pelataran masjid dengan kepala yang sedikit berdarah. Lalu si santri yang baru siuman itu mengucapkan istighfar dan berkata pada temannya, "Hei Krishna, mulai sekarang jangan kau ceritakan lagi betapa kacaunya Indonesia kepadaku!" Sambil disambut kekehan dari kedua orang itu.


Lalu teman sekamarnya itu mengatakan, "Baiklah, mulai sekarang akan aku ceritakan yang baik-baik saja!" 

"Nah, itu!" Mereka pun tertawa bersama.


"Tapi, bagaimana kalau aku ceritakan sebuah film yang baru aku lihat di lab komputer sekolahku, apakah kau akan tertarik?" 

"Boleh, film apakah itu?"

"Film tentang sekelompok alien yang berhasil menginvasi bumi!" Tawa mereka pun semakin menjadi-jadi.





Muncar/11/2022

Eko Wahyu Pratama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkara Ilmiah

Kadir Jaelawi

Subjek dan Tragedi