Ketika Bilung Pergi Memancing


[Ketika Bilung Pergi Memancing]




Medan pertempuran itu tidak pernah gersang sama sekali, umpamanya hanya terik yang tidak adil: itu juga ada yang menafsirkan bahwa hidup perlu berteduh. Bahwa setiap dari kita hendaknya perlu waktu untuk sejenak manakar ulang segalanya. Ya, hidup ini memang keras. Meskipun, ada juga dari kita yang dengan segalanya memilih untuk tidak pernah berteduh, walau itu berarti harus membakar habis seluruh jiwa raga.


Bilung, satu seorang abdi raja-raja yang barangkali tidak pernah ingin berteduh. Sebab, pikirnya, perang akan kesetiaan juga tidak boleh mangkir, maksudnya, memilih sebuah pilihan dalam hidup. Karena hidup ini pilihan, pikirnya. Entah apa yang kita pilih nanti, yang pasti waktu menuntut segala hal.


Kali ini Bilung sedang cuti akbar, ia memutuskan untuk pergi memacing, ya, betul, itu hobi yang lumrah serta murah untuk orang semacam Bilung. Ia pergi memacing sendirian, meminjam sebuah sampan kecil milik Petruk, tepatnya, ia akan bilang kepada karibnya itu setelah selesai mancing. 


Memancing dengan menggunakan sebuah sampan, adalah hal yang kurang wajar bagi Bilung, namun hal ini dimaksudkan untuk mencari 'spot' terbaik di selatan teluk sembulungan, yang lumayan jauh dari rumahnya, Ulupampang. Hitung-hitung, ia ingin suasana yang berbeda. Lumayan-lah, batinnya.


"Hue hue, hue ora jamu, jamu godong jati.. Sue ora mbelani, bela pisan, bela pati.." ia sedang khyusuk berkidung, senandika kemungkinan, yang tanpa ia sadari, menguras habis kenangannya. Sembari menunggu umpannya tersambut, barang dua-tiga ekor ikan kerapu, mungkin. Yang terjadi malah sebaliknya, ia sendiri yang terpancing oleh kenangan masa lalunya.


Sudah dua jam dan tiga jam yang lalu, Bilung sudah habis sekadarnya empat batang rokok, satu botol kopi pahit dan sekeranjang singkong. Tentu saja bekal istrinya. Tapi ia belum juga mendapatkan ikan.


Lamat-lamat kidungnya makin santer terdengar, sampai-sampai kidung itu mampu mengudara hingga ke tempat para dewa dan khayangan pun menjadi teramat sibuk, kidung yang tak penah juga para dewa buat. Belum juga masuk studio rekaman, apalagi "top kidung of the years". Mbel gedes, sekali lagi Jonggring Salako menyoba menulis kidung yang dikumandangkan Bilung diam-diam, seringkali terjadi, ya tentu, rakyat barangkali abdi semacam Bilung tidak berhak untuk sebuah hak cipta. 


Sejak dulu, Bilung amat legowo, bahasa sawahannya, nriman. Mimpin pasukan perang, misal, hanya tergaji dua telur ayam sudah bahagia, umpamanya. Dan lagi, lagi, lagi, terus. Malahan, ketika Alengka obong, Bilung rela membuat kapal 'mibur' dari tiang dan besek-besek rumahnya. Walhasil ia harus tidur mengemper di pelataran balairung kerajaan, ya, meskipun bukan raja, kalau sudah tidur di-istana, kan, terlihat keren. Begitu pikirnya. "Ini sebagai pengorbanan, wahai istriku, kita sedang berjihad" kata pamungkas Bilung kepada istrinya kalau-kalau istrinya 'mrengut' oleh apa yang sudah Bilung lakukan. "Tenang, selama kita mampu bekerjasama dengan alam, aku masih mampu membikinkan kamu rumah lagi" imbuhnya menghibur.


***

Dia sendiri yang paling sering menjadi pilot kemanusiaan. Itupun julukan yang diberikan Hanoman, si kera putih sakti. Sebab, ketika Hanoman jadi duta Meliawan, dan dia tertangkap lantas dijatuhi hukuman bakar alias diobong, Bilung juga yang memberikan air kelapa muda secara sembunyi-sembunyi, sebab, dengan itu, Hanoman tidak jadi 'sate kera'. Jelas, lah wong kelapanya berasal dari pekarangan sahabatnya: Bradanaya.


"Hai hai hai. Kenapa kau menolongku?"

Kata Hanoman, sambil membenahi ekornya yang terjepit serta meringis kesakitan.

"Hei hei hei, aku Bilung, dan aku tidak menolongmu."

Jawab Bilung sambil membenahi sarung lusuh yang ia kenakan

"Hue hue, bolehkah kau melepaskan ikatan ini, panah Indrajit amat kuat, aku tersiksa!"

"Heu heu, bukan tugasku itu, toh aku tak punya kekuatan apa-apa selain membawakan kelapa ini"

Baiklah terimakasih, begitu jawab Hanoman, begitu selesai ia memberi minum Hanoman dengan air kelapa, Bilung bergegas menghimpun warga desa. Sudah barang tentu, Alengka akan hangus. 


"Ayo, kemasi barang kalian seperlunya"

"Tapi dengan apa kita akan menyelamatkan diri? Alengka sudah terkepung bara api!"

"Sudahlah, itu, kalian berhimpun diri  diatas besek itu, asal kalian yakin, kita mampu selamat" 

Jawab Bilung menyakinkan para warga, yang dalam tragedi itu tidak mengetahui betul sebab apa negerinya harus porak-poranda.


Syahdan, berkat keyakinannya, para warga dapat selamat.


***

Bilung sudah banyak makan dari penderitaan yang dihasilkan peperangan, dari kemanusian yang miskin arah. Sebut saja, kisruh Palestina dan Israel, Rohingya, isu-isu etnis, babagan 'sara' dan lain sebagainya, Bilung sudah kenyang. 

Di pesantren Bilung dengan karibnya Togog Tejomantri alias Tejamaya, diajari, bahwasanya manusia tidak boleh digunakan sebagai cara ataupun alat untuk menuju keadilan, mengkhotbahkan kesejahterahan. Manusia, tukas Bilung, adalah tujuan itu sendiri. Dari saudaranya di gereja juga satu suara. Di pure dan dimanapun tuhan terpikirkan, lebih-lebih dalam akal budi juga sama: manusia tidak bisa di-per-alat-kan.


Peperangan, meskipun tidak mampu kita hindari, ia tidak boleh mengorbankan kemanusiaan.  Sebab, barangkali kemanusiaan bisa jadi tempat paling teduh bagi yang lain untuk berlindung. Maka dari itu, tugas Bilung sederhana, selain mengabdikan diri pada Hyang Wase, berarti pula dia harus menjadi khalifah: ikut merawat keberaturan kosmik, barangkali. 


Kalau perang tidak bisa menghindarkan diri akan jatuhnya korban jiwa, korban manusianya, yang jelas, menurut Bilung sebisanya ya perang itu jangan pernah mengorbankan ke-manusia-annya, walhasil itu kan rumit? Nah, daripada rumit mending ndak usah perang, kalaupun harus ya perang lawan hawa nafsu saja agar hidup ini penuh kesadaran.

***

Bilung selalu hadir dalam setiap pertempuran kemanusiaan, Mbilung pernah hadir sebagai pelayan tunggal patih Gajah Mada, pernah juga menjadi penjahit terampil dan tukang buat lurik kinasihnya Kali Jogo. Pernah juga Bilung jadi penjual kopi tubruk, yang warungnya pernah disinggahi Sukarno sebelum bapak proklamasi itu pergi menuju pertempuran lain, yang menyisakan Ki Hadjar Dewantara sendirian.


Sesekali Bilung pernah jualan es podeng waktu jembatan Semanggi banyak kembang api meletus ke sembarang arah. Pernah, pernah Bilung jadi ketua paguyuban anti pro dan kontra koalisi bakal calon presiden. Pernah juga ia dituduh sebagai salah seorang ninja waktu geger di Banyuwangi.


Bilung tak pernah mangkir dari tugasnya menjadi Bilung. Sedikitpun tidak. Perihal eksistensi, Bilung sudah katam betul dari temannya diluar negri: Soren Abye, sebab, sebelum Soren memutuskan meninggalkan kekasihnya, dia sudah banyak dinasehati oleh Bilung. Maka tidak heran, dalam eksistensi ke-Bilung-an banyak dewa-dewa merasa tersaingi, dengan itu jua, media cetak; online; massa; media tuhan, direkayasa sedemikian rupa sampai-sampai Bilung menjadi sosok yang hilang dari peradaban.


Tentu saja, kata bilung, bagaimana kau mau menilai kemanusiaan, jika hanya berdasar rupa? Umpamanya, apa kau akan menuju tuhan dengan rupa-rupa itu? Padahal, tuhan tidak berupa, minimalnya, tuhan adalah keberadaan itu sendiri. Khayangan geger lagi. Khayangan akhirnya bertolak pada peperangan moral. Aih! Tentu saja Bilung tetap ada. 


Pasal moral, sekadarnya, Immanuel Kant adalah murid setia Bilung, waktu Kant berkunjung ke tanah Sebrang. Bilung kembali ngidung, umpamaya: jika moral adalah buah ketakziman manusia akan nilai-nilai yang mengatur, sudah barang tentu moral bermuara pada eksistensi manusia terhadap keberadaan Tuhan. Sebab, tanpa kau yakini sekalipun, ada yang mengatur dan diatur. Maka, berkelindanlah kita pada penderitaan, sebab kita, barangkali terkadang tak ingin diatur. Jika kau singgung kebebasan, mana yang lebih bebas dari seorang Kumbukarna?

****



"Halah aku ini ngelantur opo to jane?" Kata bilung sambil menggulung senar pancing, sekaligus menggulung semua monolognya barusan.


"Yang jelas, aku kudu nrimo, sing penting urip lan urup."


Lebih dari lima batang rokok, dan satu cangkir kopi lagi, kali ini dengan susu. Bilung dan kesetiaannya memutar pengetahuan. Meskipun belum juga dapat ikan, ya ndak apa-apa.




...put!


Tembokrejo/3/6/21

Eko Wahyu Pratama



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkara Ilmiah

Subjek dan Tragedi

Kadir Jaelawi