SERIBU TAHUN
Perjalanan Seribu Tahun
Diceritakan oleh yang termasyhur, perjalan yang tidak pernah usai. Seribu sembilan ratus tujuh puluh tiga. Melewati perang, wabah, persebaran manusia sampai perkembangan teknologi informasi. Dari kayu menuju plastik. Dari sebab menyuarakan kelahiran akibat. Dari batu menjadi batu.
Syahdan, berkat bantuan air penghidupan, ia masih mampu menghitung jumlah. Serta dengan kerinduan yang mendalam ia mampu mengukur kemampuan. Waktu itu, seribu dua puluh tiga, ketika ia sampai pada daratan yang penuh dengan primata, ia meletakkan tangannya pada bongkahan batu serta bergegas menemui seseorang--yang menurut mimpinya--berada di pulau tersebut.
Orang-orang menjulukinya sebagi pulau pertemuan, sebab seperti kebanyakan mitos, barangsiapa yang datang menuju pulau tersebut, maka harapannya akan sampai. Pertanyaannya ialah, bagaimana seseorang yang akan ditemui oleh Adam itu akan mengetahui juga, bahwa ia akan dicari oleh seseorang?
Ketika itu pula, Adam menyusuri setiap kemungkinan yang mampu ia temukan. Pada akhirnya, pulau tersebut telah menjadi pulau kesekian baginya untuk senantiasa bersabar. Serta seseorang itu, telah menjelma menjadi lintasan pengetahuan adikodrati. Pencariannya di pulau itu, sirna sepuluh tahun.
Lantas bermuasal sekitar seribu dua ratus sembilan puluh dua, Adam menjadi penduduk yang bernaung di bawah perintah raja-raja berkalung emas. Lalu, kembali seperti semula, mimpinya membangun sebuah kejadian, bergegaslah ia menuju waktu yang mulai lingsir. Kembali menggeluti halaman waktu yang mulai memutih.
*****
Pada sekitar tahun 1641, aku berusaha tidak lagi menunggunya, namun apa yang tengah aku usahakan tidak membuahkan hasil. Mimpi yang kemungkinan sama dengannya, selalu memburuku. Ini sama dengan kenyataan, bahwa semenjak aku turun dari gugusan bintang sekitar ribuan yang lalu, kami berjanji akan segera menemukan masing-masing.
Itu janji abadi. Selama ribuan tahun kami jaga. Meskipun hingga hari ini, kami masih terus mencari ke-ber-ada-an. Hingga pada 1829, kami menemukan sebuah cara paling canggih, yang mampu mempertemukan kita. Kami ciptakan kembang api dari helaian daun sirsak yang menguning. Lantas orang-orang menjulukinya sebagai kalimat terakhir yang mampu disuarakan gugusan takdir.
Setibanya kami diantara 1969-1970, Adam mulai merencanakan kepulangan kami. Ia membuat kendaraan bertulang besi dengan mesin diesel 1350 hp. Memiliki empat roda. 4x4. Melaju diantara 60-80 km/h. Menempuh ribuan waktu di masa lalu. Menjulurkan kesempatan pada tanah kelahiran, sehingga kami bisa memetik apel-apel yang sudah lama kami nanti.
"Percayalah, diantara hari itu, aku selalu merapihkan ingatan kita, Hawa" ia mengatakan itu sembari kami melintasi 2003. Seperti seluruh dunia. Membacakan puisi cinta karangan bunga.
"Apa yang membuat dirimu rela?"
"Aku? Tentu. Sepertinya dirimu juga"
"Ya. Tapi siapa?"
"Kita"
"Sudah berapa lama?"
"Berapa lama?"
"Ya, berapa lama?"
"Tinggal seberapa jauh?"
"Dua puluh tiga"
"Ayolah, kebun kita menunggu"
"Apel?"
"Tentu. Ada juga beberapa ternak"
"Kambing?"
"Ayam juga beberapa sapi"
Kata-kata, bagi kami sudah jauh tertimbun kenangan.
"Dari tulang belulang?"
"Tulung rusukmu, Adam"
"Ya, aku pasti ingat"
"Tentu, mana mungkin tidak"
"Hawa"
"Ya…."
"Aku sempat membangun sebuah kuil"
"Untukku?"
"Tentu saja, dari batuan vulkanik"
"Megah?"
"Seperti dirimu"
"Untuk apa?"
"Untukmu"
Itulah mengapa, tidak mungkin kata-kata mampu merengkuh cinta. Tidak mungkin kata-kata sanggup meraih cinta. Sebab cinta, siapa yang mengetahui betul bagaimana 'ia' ada dan menjelmakan dirinya?
"Tunggu sebentar, dirimu menyebutnya 'ia'?"
Barangkali, cinta bukanlah apa-apa, namun, bagaimana bisa kita tanpa cinta? Bukankah kita mampu sejauh ini karena cinta?
"Ya, tentu"
****
Pada sebuah negeri, nun disana, hiduplah seorang tani yang seluruh hidupnya ia darmakan kepada alam raya. Hidupnya sehari-hari habis pada sebuah ladang garapan, kalaupun tersisa--sebagian dari hidupnya--tentu itu untuk keluarga di rumah.
Parlo, orang-orang akrab memanggilnya demikian. Meskipun tidak ada dari warga setempat yang mengetahui betul asal-usul dari Parlo. Para warga hanya mengetahui, bahwa si Parlo adalah orang yang baik, ramah, murah senyum serta sederet kebaikan melingkupinya.
Pria itu tinggal pada sebuah desa di lereng gunung Raung, sebuah desa yang penuh dengan kekayaan. Dimana kayu dapat ditanam lalu dengan segera menghilangkan rasa lapar. Meskipun begitu, para warga desa tidak ingin memaksa alam untuk terus-menerus tunduk pada mereka, artinya, kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut hanya diberdayakan seperlunya.
Ini juga lantaran Parlo sedemikian giat mengajak warga setempat untuk menyayangi alam.
"Alam ini telah memberikan kita cinta, maaka kita harus mencintainya juga" kata-kata yang sempat Parlo ucapkan pada warga setempat.
Dilain pihak, istri Parlo setia dengan sangat baik menemani perjuangan sumaminya itu.
"Apakah, Parlo akan senantiasa abadi?" Tanya istrinya.
"Bisa jadi, tapi, yang jelas, sebagai Adam-mu, Parlo bisa abadi, Hawa"
__________________
Banyuwangi, bulan dua.
(Dr)
Komentar
Posting Komentar